
Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Gatrik) diharapkan akan menentukan tarif listrik yang dapat disesuaikan dengan kondisi wilayah dan situasi ekonomi melalui skema tarif regional.
Hal ini diungkapkan oleh pakar listrik sekaligus Rektor Institut Teknologi PLN, Iwa Garniwa, di hadapan Komisi XII DPR RI. Menurutnya, kesamaan tarif antarwilayah saat ini tidak mencerminkan daya beli masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah.
“Tarif regional itu kita berbasiskan adalah (melalui) daya beli masyarakat. Ironis bahwa tarif di Jawa itu sama dengan tarif di Papua. Pelanggan (di Papua) Rp 450.000 sama tarifnya (di Jawa) Rp 450.000. Terus saya berpikir, pakai lah tarif regional, sehingga berbeda. Daya beli masyarakat itu (yang) menentukan,” kata Iwa dalam RDPU bersama Komisi XII di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/7).
Iwa juga menjelaskan, skema tarif regional memungkinkan harga listrik ditentukan berdasarkan wilayah administratif, kondisi geografis, maupun wilayah pasokan.
Ia mencontohkan, tarif di Jawa bisa menjadi yang paling mahal, diikuti Sumatera, dan wilayah lain, sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang mengenai tarif regional.
Kemudian, ia menekankan prinsip utama dalam penentuan tarif seharusnya berpijak pada kesejahteraan dan kemampuan masyarakat. “Bahwa tarif listrik itu adalah fundamental ekonomi, tetapi di sisi lain juga kita harus dipikir adalah daya beli masyarakat atau kesejahteraan masyarakat,” jelas Iwa.
Iwa juga mendorong agar tarif listrik dapat bersifat dinamis dan tidak tetap, menyesuaikan dengan perkembangan situasi ekonomi. Ia menilai, tarif bisa diubah dalam rentang waktu tertentu, seperti setiap tiga, enam, atau bahkan sembilan bulan, sesuai dengan kondisi ekonomi tiap wilayah.
“Bagaimana tarif (disesuaikan) antara wilayah yang ekonomi maju dengan wilayah yang belum maju. Ini pasti (di) masyarakat ada tantangannya, tetapi memang harus lebih jalan, karena dunia ini dinamis,” sebutnya.
Terkait subsidi, Iwa menyarankan agar bantuan dialihkan langsung kepada masyarakat, bukan pada harga barang. Ia menekankan bahwa tarif listrik sebaiknya mengacu pada tarif ekonomi badan usaha, sementara mekanisme subsidi dapat diatur secara terpisah sebagai bentuk dukungan bagi masyarakat.
“Jadi, pikiran saya, kalian hanya memikirkan bagaimana tarifnya, ekonominya, tapi subsidinya adalah urusan yang lain, itu usulan saya,” tutur Iwa.