Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menegaskan, keberangkatan jemaah Haji Furoda atau haji mandiri tetap harus tercatat dalam sistem pemerintah Indonesia.
Hal itu untuk memastikan adanya perlindungan hukum terhadap jemaah haji.
“Yang namanya Furoda itu atau sekarang ada berkembang diskusi mengenai Haji Mandiri. Itu kan bukan kita punya, (yang punya) Saudi. Kalau ada ya kita manfaatkan, kita atur. Yang kita punya itu dimasukkan di dalam undang-undang. Kuota reguler dan kuota khusus. Itu saja yang bisa kita atur,” kata Marwan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8).
Ia menjelaskan, munculnya kebijakan baru dari Pemerintah Arab Saudi mendorong DPR untuk memberikan payung hukum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Haji. Skema itu nantinya bisa disebut sebagai Haji Furoda, Haji Mandiri, atau pun Haji non-kuota.
“Tapi karena Saudi memulai membuat kebijakan. Maka akibat dari kebijakan itu apa? Maka akan kita cantumkan payung hukumnya,” jelas Marwan.
“Apakah dicantumkan seperti itu atau cukup dengan Haji atau Umrah non-kuota. Jadi Haji non-kuota, jadi bukan reguler, bukan khusus. Tapi ada yang berangkat Haji di luar itu,” tambahnya.
Menurutnya, pencatatan jemaah Furoda penting agar negara dapat memberikan perlindungan yang sama dengan jemaah haji lainnya.
“Nah, di Undang-Undang Haji ini pun nanti akan ada pasal perlindungan terhadap warga negara. Bagaimana kita melindungi warga negara kalau kita enggak tahu siapa yang berangkat,” kata Marwan.
“Maka Furoda tadi atau mandiri tadi, itu tetap saja butuh terdaftar di catatan kita dia berangkat haji. Itulah yang mau kita atur,” tandasnya.
Sebelumnya, Haji furoda jadi salah satu sorotan dalam penggodokan RUU Haji. Sebab, pada aturan lama, kuota haji furoda tidak diatur dalam kuota resmi.
Dampaknya, terasa saat Pemerintah Saudi memutuskan tidak mengeluarkan visa furoda pada haji 2035. Karena itu, ada usulan kuota haji furoda juga diatur dalam UU Haji.
Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq mengatakan, sejauh ini ada dua opsi pembagian kuota haji. Termasuk mekanisme untuk program Haji Furoda.
Ia menilai, Haji Furoda bisa diakomodir jika ada kepastian jumlah dan mekanisme jelas. Tapi jika tidak jelas, sebaiknya dihapus.
“Nah, jadi ada dua usulan. Pertama, Furoda justru diakomodir. Karena Furoda itu menjadi hak prerogatifnya kerajaan, lalu diberikan kepada negara-negara sahabat. Asal ada kepastian, misalnya Indonesia dapat berapa nih, kayak gitu ya, Indonesia dapat berapa, lalu bagaimana mekanismenya, boleh,” ujar Maman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/8).