"Kita ekspor mentah (kelapa). Kurang lebih Rp 26 triliun sekarang, kalau kita olah ini yang kita ekspor adalah coconut milk, dengan VCO (Virgin Coconut Oil). Ini 100 kali lipat, 10 ribu persen. Artinya apa? Kalau Rp 26 triliun yang kita ekspor sekarang kemudian kita hilirisasi itu menjadi Rp 2.600 triliun, baru kelapa. Dan itu bisa, itu bisa, murah pabriknya,” kata Amran dalam acara Rakornas Kadin Indonesia bidang Koperasi dan UMKM di Jakarta, Rabu (20/8).
Menurut Amran, pembangunan industri hilir kelapa tidak membutuhkan biaya besar. Satu pabrik pengolahan, kata dia, hanya membutuhkan investasi sekitar Rp 30 miliar. Nilai tersebut dianggap relatif murah, sehingga memungkinkan pelaku UMKM untuk bergabung membangun industri bersama.
“Kalau Rp 30 miliar UMKM berkumpul 100, selesai. Artinya setiap pelaku hanya menanggung sekitar Rp 30 juta. Itu bisa ditutup dari omzet satu bulan,” ujar Amran.
Khusus untuk CPO, Amran menyebut Indonesia sebagai penguasa pasar global. “CPO kita menguasai dunia. Kita nomor 1 dunia, Malaysia dari kita juga, ini 60 persen. 80 persen di tangan kita. Kira-kira kalau kita hentikan 1 minggu, itu geger dunia,” tegas Amran.
Amran menambahkan, pemerintah saat ini tengah mendorong hilirisasi CPO menjadi biofuel sebagai strategi memperkuat kemandirian energi nasional. Ia menyebut, Presiden Prabowo telah memberikan arahan agar produksi CPO diarahkan untuk mendukung program bahan bakar nabati, termasuk B50.
“Kita hilirisasi sekarang. Bapak Presiden, Bapak Prabowo, aku ditanya, Pak Menteri? Pak, jadikan biofuel. B50,” jelasnya.
Amran menjelaskan, skema ini akan berjalan dinamis mengikuti perkembangan harga global.
“Kalau harga dunia naik, kita ekspor. Harga dunia turun, kita tarik menjadi solar. Seperti Brasil. Harga gula naik, keluarkan gula. Kalau harga gula turun, dia keluarkan etanol. Dan ini bisa dijadikan senjata,” tutur Amran.