REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah cendekiawan Muslim Indonesia mengikuti kelompok diskusi terarah (focus group discussion/FGD) bertajuk "Viabilitas Masyarakat dan Negara Madani di Era Modern." Ini diselenggarakan oleh Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) di Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
Menurut Ketua CDCC Prof M Din Syamsuddin, FGD ini menjadi ajang tukar pikiran menjelang Persidangan Perdana Majelis Cendekiawan Madani (MCM) Malaysia-Indonesia di Kuala Lumpur pada 21–24 Agustus 2025 mendatang. Mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu merupakan inisiator MCM Malaysia-Indonesia.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah tokoh, seperti Prof Komaruddin Hidayat, Buya Anwar Abbas, Hajriyanto Y Thohari, Sudarnoto A Hakim, Didik J Rachbini, Zaitun Rasmin, Pipip Ahmad Rifai, Sadeli Karim, Agus Wicaksono, dan Sabriati Azis.
Turut hadir pula Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, TYT Dato' Syed Mohammad Hazrin Tengku Hussin, beserta Atase Ugama Shamsuri Bin Ghazali dan beberapa diplomat Malaysia.
Dalam paparannya, Komaruddin Hidayat menekankan, masyarakat madani sejatinya telah dikenal sejak masa Nabi Muhammad SAW. Unsur ini dengan tiga nilai dasar utama, yaitu keagamaan, kebangsaan, dan peradaban.
Dalam konteks Indonesia, lanjutnya, masih ada kendala kuatnya dominasi negara atas masyarakat sipil. “Elite agama sering kali tidak berkutik menghadapi kekuasaan politik,” ujar Ketua Dewan Pers itu, dikutip Republika dari keterangan tertulis, Rabu (6/8/2025).
Senada dengan itu, Sudarnoto A Hakim mengatakan, Malaysia juga menghadapi tantangan dalam membangun masyarakat madani. Di negeri jiran, tantangan muncul terutama dari faktor perkauman atau isu segmentasi etnis.
“Padahal, masyarakat madani mensyaratkan adanya kesetaraan dan kebersamaan lintas kelompok dalam masyarakat majemuk,” ungkap Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Hajriyanto Y Thohari menyajikan perspektif dari Timur Tengah. Menurut mantan duta besar RI untuk Lebanon ini, gagasan masyarakat madani sulit diterapkan di negara-negara Arab. Sebab, di sana sistem kekabilahan dan format pemerintahan monarki absolut masih kuat.
“Saya pesimistis, masyarakat madani bisa terwujud dalam konteks politik Arab dewasa ini,” ujarnya.
Din Syamsuddin mengatakan, cita-cita masyarakat madani tetap relevan dan patut diperjuangkan, baik di Indonesia maupun Malaysia. Menurutnya, tantangan global seperti pergeseran geostrategis dan geopolitik ke kawasan Asia Pasifik harus disikapi sebagai peluang.
“Yang kita perlukan adalah mentransformasi tantangan menjadi peluang melalui penguatan masyarakat madani dan reformasi sistem kekuasaan,” tegasnya.
Gagasan dari FGD ini akan dibawa ke dalam forum Persidangan MCM Malaysia-Indonesia yang akan diikuti oleh 99 cendekiawan, yakni sebanyak 59 dari Malaysia dan 40 orang dari Indonesia. Forum tahunan ini diharapkan dapat menjadi ruang strategis untuk merumuskan visi masyarakat madani dalam konteks dunia Islam kontemporer. Rencananya, pertemuan itu akan dibuka oleh PM Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim.