REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena “Rojali” atau rombongan jarang beli dan “Rohana” alias rombongan hanya nanya, menjadi fenomena baru di tengah masyarakat perkotaan. Peneliti menilai fenomena ini mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat yang terdampak langsung oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan naiknya harga kebutuhan pokok.
Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi akibat penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pada kuartal I 2025, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 4,89 persen. Angka ini lebih rendah dibanding rerata sebelum pandemi yang berkisar antara 5,2 hingga 5,4 persen.
Salah satu penyebab utama turunnya daya beli adalah lonjakan PHK. Per Juni 2025, sebanyak 42.385 pekerja kehilangan pekerjaan, naik 32 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “Angka ini menunjukkan bahwa badai PHK masih terjadi bahkan lebih masif,” kata Dwi kepada Republika, Sabtu (2/8/2025).
Ia menambahkan, sinyal lemahnya pasar tenaga kerja juga terlihat dari menurunnya jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan, yang mencerminkan berkurangnya tenaga kerja sektor formal. Di saat yang sama, aktivitas industri pun melambat, tercermin dari kontraksi pada Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur.
Menurut Dwi, lemahnya daya beli bukan hanya soal kehilangan pekerjaan. Tabungan masyarakat yang makin menipis dan deindustrialisasi yang berjalan senyap turut memperparah situasi.
“Di sisi lain, terjadinya inflasi pangan juga memukul masyarakat terutama kelas menengah ke bawah,” ujarnya.
Kenaikan harga pangan, lanjut Dwi, berdampak besar karena pangan merupakan kebutuhan pokok yang tak bisa ditunda. Ketika harga naik, masyarakat tetap membeli, dan ini menggerus pendapatan riil mereka.
Fenomena Rojali dan Rohana, kata Dwi, hanya bisa berakhir bila daya beli pulih dan harga pangan kembali stabil. Untuk itu, masyarakat harus kembali memiliki sumber pendapatan yang layak.
“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan industri yang ada sekaligus menarik investasi langsung dengan melakukan deregulasi, pemberantasan pungli, hingga konsistensi kebijakan. Di sisi lain, pekerja perlu meningkatkan produktivitas maupun keterampilan baru,” ujarnya.
Ia menegaskan, pemerintah juga harus aktif menjaga harga pangan melalui pengawasan ketat dan audit berkala untuk mencegah permainan harga dan keberadaan pangan oplosan. Selain itu, distribusi pangan harus diperbaiki agar lebih efisien dan menekan harga di tingkat konsumen.