REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia mulai mencari sumber pendanaan baru untuk menekan emisi dari sektor kehutanan. Kementerian Kehutanan tengah menyusun konsep kunci dan proposal REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation) tahap kedua.
REDD+ merupakan skema pendanaan PBB untuk membantu negara berkembang mengurangi emisi dari sektor kehutanan. Pada tahap pertama (2014–2016), Indonesia berhasil menurunkan emisi sebesar 144.989.856 ton CO₂ ekuivalen.
Sekitar 27 juta ton di antaranya diajukan untuk pembayaran berbasis hasil (RBP) dari fasilitas REDD+ Green Climate Fund (GCF) dengan nilai setara 103,8 juta dolar AS, atau 5 dolar AS per ton.
“Sebuah inisiatif pendanaan dari institusi global, berbagai macam stakeholder, Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation plus, ini sebuah inisiatif pendanaan yang sangat membantu untuk kehutanan, untuk berbagai macam aspek,” kata Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai membuka kick-off Penyusunan Proposal REDD+ Tahap II, Selasa (12/8/2025).
Raja Juli menegaskan dana tersebut akan digunakan untuk mengurangi deforestasi, mencegah kebakaran hutan, memperbaiki tata kelola, serta mendukung perhutanan sosial, masyarakat adat, dan konservasi.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Krisnawati, menjelaskan periode klaim REDD+ GCF tahap kedua belum ditentukan. Tim Kementerian masih mempelajari persyaratan pendanaan dan nilai potensi yang bisa diperoleh. Menurutnya, proses tahap kedua ini akan lebih ketat dibanding sebelumnya.
“Dan kelayakan kita seperti apa dan kami akan melihat berapa kira-kira nilai yang nanti bisa kami dapatkan, periodenya keputusannya akan ada di pemerintah, pemangkasan emisi pada periode berapa yang bisa kita lakukan, termasuk peluang-peluang dari pendanaan lain,” ujarnya.
Raja Juli menambahkan, dengan atau tanpa dukungan luar negeri, menjaga hutan dan meningkatkan kapasitas masyarakat merupakan tanggung jawab bangsa. Ia menegaskan isu perubahan iklim adalah masalah global, sehingga Indonesia terbuka untuk kerja sama dengan berbagai pihak.
Haruni menyebut Norwegia juga sudah berkomitmen melanjutkan Result Based-Contribution, meski mekanisme Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) akan berbeda dengan REDD+ GCF.
Selain pendanaan bilateral dan multilateral, Raja Juli mendorong keterlibatan swasta, termasuk melalui perdagangan karbon.
“Kepentingan kami sebenarnya, di sektor kehutanan kami memiliki 6,5 juta hektare apa yang disebut degraded land atau lahan kritis, kemudian kami buka pasar karbon ini kami berharap ada investasi, swasta menanam di lahan-lahan kritis itu, kemudian swasta mendapat insentif dari usaha mereka,” katanya.