Pemerintah Filipina tengah mempertimbangkan untuk menghentikan sementara impor beras guna melindungi petani lokal. Langkah ini berpotensi berdampak pada pasokan global, mengingat Filipina adalah pengimpor beras terbesar di dunia.
Departemen Pertanian Filipina telah merekomendasikan rencana tersebut, sekaligus mendorong kenaikan tarif impor beras, menurut keterangan Kantor Komunikasi Kepresidenan pada Senin (4/8). Meski demikian, belum ada jadwal pasti kapan kebijakan ini akan diterapkan.
Kebijakan ini akan dibahas bersama Presiden Ferdinand Marcos Jr. dalam kunjungan kenegaraan ke India pekan ini.
Langkah Filipina muncul di tengah tren pasokan global yang membaik, yang telah membuat harga patokan beras di Asia anjlok ke level terendah dalam delapan tahun terakhir.
Di beberapa negara produsen beras seperti Thailand, harga rendah ini telah memicu protes petani. Namun, dari sisi konsumen, penurunan harga turut menekan laju inflasi pangan.
Usulan pembatasan impor datang hanya beberapa hari setelah Menteri Pertanian Francisco Tiu Laurel Jr. menyarankan agar kuota impor tahunan dipangkas drastis, kurang dari 20 persen dari level saat ini.
Tiu menyebut masuknya beras impor memukul produsen lokal dan bisa membuat penggilingan dalam negeri gulung tikar.
Menurut proyeksi Departemen Pertanian AS (USDA), Filipina akan mengimpor sekitar 5,4 juta ton beras pada musim 2025–2026. Hingga paruh pertama 2025, Filipina telah mengimpor sekitar 2 juta ton, menurut Wakil Menteri Pertanian Arnel de Mesa.
Menurunnya inflasi beras secara tajam pada Juni 2025 turut menahan kenaikan inflasi umum di Filipina. Harga beras domestik turun berkat pemotongan tarif impor dari 35 persen menjadi 15 persen tahun lalu. Tarif rendah ini akan berlaku hingga 2028.
Produksi gabah di Filipina, yang biasanya ditanam dua kali setahun, tercatat 9,08 juta ton pada semester pertama 2025. Pemerintah menargetkan produksi penuh tahun ini mencapai rekor 20,46 juta ton.