Konflik maritim antara Indonesia dan Malaysia di kawasan Laut Sulawesi, atau yang oleh Indonesia disebut sebagai Blok Ambalat, kembali menjadi sorotan internasional. Dengan tumpang tindih klaim atas Blok ND6 dan ND7, kedua negara kembali diuji komitmennya terhadap penyelesaian damai dalam koridor hukum internasional. Sengketa yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade ini, pada dasarnya mencerminkan kompleksitas batas maritim di kawasan Asia Tenggara.
Dalam pernyataannya, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menegaskan bahwa konflik ini tidak akan berkembang menjadi konfrontasi militer seperti yang terjadi antara Thailand dan Kamboja. Pernyataan tersebut memberikan ketenangan, sekaligus membuka peluang baru untuk mengedepankan pendekatan diplomatik. Ini adalah sinyal penting bahwa jalan dialog masih sangat terbuka, sekalipun tekanan domestik dan regional mulai meningkat.
Peta konflik ini berakar pada klaim Malaysia melalui peta unilateral tahun 1979, yang memasukkan Ambalat dalam batas maritimnya. Klaim ini tidak diakui oleh Indonesia, yang sejak awal menolak keabsahan peta tersebut karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982. Malaysia juga mengajukan argumen kedekatan geografis dengan pulau Sipadan dan Ligitan yang sebelumnya disengketakan namun dimenangkan Malaysia di Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2002.
Di sisi lain, Indonesia berpegang teguh pada prinsip negara kepulauan sebagaimana diatur dalam UNCLOS, di mana penarikan garis batas wilayah laut dilakukan dari garis pangkal kepulauan. Wawasan Nusantara sebagai doktrin geopolitik Indonesia mempertegas bahwa laut adalah bagian integral dari wilayah nasional, bukan pemisah antar pulau. Dengan dasar ini, Indonesia menegaskan bahwa Ambalat berada dalam yurisdiksi nasionalnya.
Secara historis, ketegangan meningkat sejak 1980-an, seiring dengan peningkatan patroli, eksplorasi sumber daya, hingga adu nota diplomatik antara kedua negara. Tahun 2003 menjadi titik krusial ketika Indonesia mengajukan protes resmi terhadap klaim Malaysia atas Ambalat, menyatakan bahwa klaim tersebut tidak sesuai dengan kerangka hukum laut internasional.
Ketegangan mencapai puncaknya pada 2009 saat Malaysia secara sepihak mengumumkan rencana eksplorasi minyak dan gas di kawasan sengketa. Tindakan ini dianggap provokatif oleh Indonesia dan langsung direspons dengan peningkatan aktivitas militer serta patroli maritim. Situasi sempat memburuk, namun upaya diplomatik mencegah eskalasi lebih lanjut.
Walaupun suasana politik mereda, posisi hukum kedua negara tetap kontras. Indonesia menekankan validitas konstitusional, geografis, dan historis dari klaimnya, termasuk penggunaan peta yang telah dikonsultasikan secara internasional. Malaysia di sisi lain, masih bersandar pada dokumen-dokumen domestik dan preseden yang terbatas untuk memperkuat posisinya.
Dalam perspektif hukum maritim internasional, UNCLOS 1982 menjadi fondasi utama penyelesaian. Namun, UNCLOS hanya menyediakan prinsip umum, seperti penarikan garis tengah atau median line, tanpa memberikan solusi otomatis atas klaim tumpang tindih. Oleh karena itu, proses negosiasi bilateral atau penyelesaian melalui badan peradilan internasional tetap menjadi jalan utama.
Kehadiran potensi sumber daya alam, terutama hidrokarbon, di kawasan Ambalat menambah sensitivitas isu ini. Kedua negara memiliki kepentingan ekonomi yang besar dalam eksplorasi energi, yang dapat menjadi batu sandungan maupun peluang kerja sama strategis. Dalam kerangka ini, muncul ide "joint development" atau pengembangan bersama sebagai jalan tengah yang saling menguntungkan.
Skema pengembangan bersama telah berhasil diterapkan di berbagai belahan dunia, seperti Zona Netral Saudi-Kuwait atau Laut Timor antara Australia dan Timor Leste. Kerja sama semacam ini memungkinkan eksplorasi sumber daya tanpa menunda penyelesaian final klaim kedaulatan. Ini adalah pendekatan pragmatis yang bisa diadopsi Indonesia dan Malaysia.
Namun, kerja sama tersebut membutuhkan ketegasan dalam delimitasi fungsi, pembagian keuntungan, hingga skema pengawasan yang adil. Untuk itu, perlu adanya dasar hukum bilateral yang kuat, didukung mekanisme penyelesaian sengketa serta transparansi dalam pengelolaan. Proses ini bisa menjadi preseden penting bagi penyelesaian konflik maritim di Asia Tenggara.
Konteks regional juga memengaruhi dinamika Ambalat. Ketegangan militer yang meningkat antara Thailand dan Kamboja pada Juli 2025 menjadi pemicu kekhawatiran baru. Publik Malaysia pun mulai menunjukkan kecemasan terhadap kemungkinan militerisasi konflik dengan Indonesia. Oleh karena itu, diplomasi publik dan komunikasi strategis menjadi penting untuk meredam kecemasan dan membangun kepercayaan.
Indonesia, dengan Wawasan Nusantara sebagai dasar konseptual geopolitik, menekankan bahwa penyelesaian konflik tidak hanya soal delimitasi teknis, tetapi juga pemaknaan integritas wilayah sebagai satu kesatuan. Ini memperkuat narasi bahwa klaim Indonesia atas Ambalat bukan semata ambisi politik, tetapi hasil konsistensi historis dan hukum.