Pemerintah Spanyol memerintahkan pejabatnya di sebuah kota untuk mencabut larangan pertemuan keagamaan di pusat-pusat olahraga untuk umum. Pemerintah menyebut larangan itu sebagai tindakan diskriminatif yang melanggar hak kebebasan beragama karena akan berdampak utamanya terhadap umat Islam.
"Tidak ada tindakan setengah-setengah terkait intoleransi," kata Menteri Kebijakan Teritorial, Angel Victor Torres, dalam unggahannya di media sosial pada Senin (11/8), dikutip dari The Guardian, Selasa (12/8).
Dia juga mengatakan bahwa partai-partai oposisi sayap kanan tidak bisa memutuskan siapa yang memiliki kebebasan beribadah dan siapa yang tidak.
Pada minggu lalu, terungkap bahwa dewan yang dipimpin kaum konservatif di kota Jumilla yang berpenduduk sekitar 27 orang jiwa mendukung larangan tersebut. Karena penduduk Muslim di sana selama bertahun-tahun menggunakan fasilitas pusat olahraga umum untuk berkumpul merayakan Idul Fitri dan Idul Adha, mosi tersebut dianggap secara luas menargetkan sekitar 1.500 penduduk Muslim di sana.
Proposal kebijakan itu awalnya diajukan oleh partai sayap kanan, Partai Vox, yang menyerukan larangan total terhadap perayaan publik seperti Idul Adha.
Proposal itu kemudian diperlunak dan didukung oleh Partai Rakyat (PP) yang menghapus penyebutan eksplisit tentang Idul Adha, dan sebagai gantinya menetapkan bahwa fasilitas olahraga kota tidak boleh lagi digunakan untuk aktivitas budaya, sosial, atau keagamaan yang tidak terkait dengan dewan kota.
Menurut kelompok sayap kanan, apa yang mereka lakukan merupakan tindakan pertama untuk melarang festival Islam di ruang publik Spanyol.
Protes Keras dari Kelompok Muslim
Namun, kebijakan itu menuai protes keras. Ketua asosiasi Islam terkemuka di Spanyol menyebut larangan itu sebagai Islamofobia yang dilembagakan, sementara menteri migrasi menyebutnya kebijakan yang memalukan.
Di Jumilla, PP membela kebijakan itu. Menurut mereka, usulan itu tidak menyinggung agama atau keyakinan apa pun dan menyoroti bahwa 72 kebangsaan hidup berdampingan tanpa masalah.
Wali kota Jumilla, Seve Gonzalez, mengatakan dewan bertujuan untuk mempromosikan kampanye budaya yang mempertahankan identitas kota dan melindungi nilai-nilai dan ekspresi keagamaan negara.
Namun, Menteri Migrasi Spanyol Elma Saiz mengatakan mereka yang harus menanggung konsekuensinya adalah warga yang telah hidup dengan damai puluhan tahun di Jumilla dan telah membantu menopang ekonomi lokal yang berpusat pada kebun anggur dan tanaman seperti zaitun dan almond.
Elma Saiz juga mengkritik wali kota Jumilla yang menyebut larangan itu untuk melindungi identitas Spanyol, dan menyinggung pengaruh Islam dalam sejarah Spanyol.
"Bagi saya, itu tampak sangat bodoh. Itu mengabaikan fakta bahwa kita tidak akan menjadi negara seperti saat ini jika kita tidak menghargai kontribusi budaya Islam terhadap bahasa kita, karya seni kita, kemajuan arsitektur dan teknik sipil," katanya,
Gereja Katolik termasuk salah satu pihak yang menentang usulan larangan itu. Gereja menilai larangan itu sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sesuai dengan hak kebebasan beragama.
Sementara Federasi Komunitas Yahudi Spanyol mengatakan larangan itu merupakan kemunduran demokrasi yang serius.