
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan alasan menerbitkan kebijakan co-payment alias pembagian risiko dengan peserta asuransi kesehatan, di mana peserta harus tetap membayar 10 persen dari total biaya.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, mengatakan jasa asuransi yang sangat penting dan dibutuhkan untuk memberikan proteksi kepada masyarakat serta para pelaku usaha di Indonesia demi tercapainya tujuan pembangunan.
"Namun di lain pihak, saat ini kapasitas dari industri asuransi di Indonesia dapat dikatakan masih terbatas dalam memberikan proteksi kepada masyarakat dan pelaku usaha itu," ungkapnya saat Rapat Kerja Komisi XI DPR, Senin (30/6).
Mahendra menyebut aset perusahaan asuransi di Indonesia saat ini baru mencapai 5,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara ASEAN yakni 15 persen, di luar Singapura yang sudah hampir 70 persen.
Begitu pula dengan total premi asuransi yang dibayarkan setiap tahunnya dibandingkan PDB atau terminologi penetrasi, dia mengungkapkan saat ini masih di bawah 3 persen dari PDB, jauh di bawah Singapura 10 persen dan rata-rata ASEAN 3-5 persen.

"Berkaitan dengan itu, tentu kami melihat bahwa kualitas dan cakupan pelindungan yang dapat diberikan dari risiko kesehatan yang merupakan bagian integral dari ketahanan ekonomi masyarakat juga bersifat terbatas," tegas Mahendra.
Lebih lanjut, Mahendra menuturkan, jarak proteksi (protection gap) di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia masih sangat besar, jumlahnya ditaksir mencapai USD 886 miliar pada tahun 2022. Hal ini, menurutnya, mencerminkan belum ratanya proteksi asuransi terhadap berbagai risiko kesehatan, sementara risiko seperti bencana alam dan penyakit kritis terus meningkat.
"Dalam kaitan dengan konteks Indonesia, kami akan menyampaikan beberapa hal yang menunjukkan bahwa banyak sekali hal-hal yang belum terproteksi oleh asuransi, baik oleh Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan maupun oleh asuransi kesehatan yang non wajib," ungkap Mahendra.
Selain rendahnya cakupan proteksi asuransi, dia juga menambahkan alasan lain mendesaknya skema co-payment adalah inflasi sektor kesehatan atau inflasi medis di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat dan mengkhawatirkan.
"Pada tahun 2023 terlihat bahwa tingkat inflasi kesehatan itu mencapai hampir tiga kali lipat dari tingkat inflasi secara umum, dan untuk tahun 2025 diperkirakan tingkat inflasi medis mencapai 13,6 persen," jelas Mahendra.

Maka dari itu, OJK kemudian menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025. Dalam beleid ini, co-payment yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim, dengan batas maksimum Rp 300.000 untuk klaim rawat jalan dan Rp 3 juta untuk klaim rawat inap.
Skema co-payment yang berlaku mulai 1 Januari 2026 ini wajib untuk semua produk asuransi kesehatan, baik konvensional maupun syariah, yang menggunakan skema ganti rugi (indemnity) maupun pelayanan kesehatan terkelola (managed care).
"Tetap kami laporkan bahwa mekanisme co-payment ini memang sudah menjadi best practice secara internasional diterapkan di negara-negara lebih maju seperti Singapura, Korea, Selatan, Malaysia maupun juga negara-negara berkembang di kawasan seperti Thailand dan Filipina," tutur Mahendra.