
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Achmadi, meminta pengaturan mengenai saksi mahkota dan saksi pelaku diatur secara khusus dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP).
LPSK menyoroti pentingnya pembedaan antara saksi mahkota dan saksi pelaku. Menurutnya, kedua konsep ini kerap disamakan padahal secara hukum dan praktik memiliki perbedaan yang signifikan.
“Secara konsep dan praktik, saksi pelaku berbeda dengan saksi mahkota, dan secara historis juga beberapa peraturan mengatur. Namun dengan adanya Undang-Undang 31 Tahun 2014 maka tentu menjadi sebuah acuan penting dalam rangka pengaturan lebih lanjut norma saksi pelaku itu di dalam KUHAP,” kata Achmadi saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/6).

Ia menilai, pengaturan saksi pelaku menjadi sangat relevan mengingat maraknya kejahatan terorganisir seperti narkotika, korupsi, dan tindak pidana pencucian uang. Namun, jumlah permohonan perlindungan terhadap saksi pelaku masih minim.
“Ini menjadi penting untuk diatur dalam RUU KUHAP supaya mendorong bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana secara menyeluruh, terutama terhadap kejahatan yang serious crime atau kejahatan transnasional yang terorganisasi,” ujar Achmadi.
LPSK mengusulkan agar KUHAP mendatang mengatur secara eksplisit tentang saksi pelaku, termasuk rumusan definisinya. Dalam draf Revisi KUHAP saat ini, saksi mahkota telah diatur, namun belum secara khusus membedakan dengan saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
LPSK mengusulkan definisi saksi pelaku dimasukkan dalam Pasal 1 antara angka 43 dan 44. “Saksi pelaku adalah terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama,” jelasnya.

LPSK juga menyinggung Pasal 69 yang mengatur tentang saksi mahkota. LPSK menilai pasal tersebut perlu ditinjau ulang agar tidak menimbulkan tumpang tindih dengan peran saksi pelaku yang diatur dalam regulasi lain.
“Perlu adanya rumusan tentang saksi pelaku yang diatur dalam KUHAP,” ucap Achmadi.
Menurutnya, tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dalam pengungkapan perkara harus diberi perlakuan khusus serta penghargaan tertentu.
“Yang intinya adalah usulan kami perlu diatur di Pasal 69, begitu, bahwa tersangka, terdakwa, terpidana berhak mendapatkan penanganan secara khusus dan atau penghargaan apabila bekerja sama dalam pengungkapan kasus tindak pidana dan seterusnya,” jelasnya.
Penghargaan tersebut, lanjut Achmadi, dapat berupa keringanan pidana, pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan bentuk insentif lain yang relevan.
“Dalam praktik tentu ini sudah dilakukan, sehingga KUHAP mendatang diharapkan dapat mengatur saksi pelaku serta perlu melihat regulasi yang sudah ada,” pungkasnya.