REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Chief Economist PermataBank Josua Pardede menilai kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) dan rotasi ekspor China ke ASEAN menciptakan peluang besar bagi Indonesia untuk memonetisasi segmen halal bernilai tambah.
"Terutama makanan-minuman olahan, bahan baku halal (gelatin, emulsifier, flavoring), personal care dan kosmetik halal, farmasi–nutraseutikal halal, serta halal cold-chain logistics,” ujarnya menjawab pertanyaan Republika dalam PIER Economic Review: Semester I 2025 yang digelar secara daring, Senin (11/8/2025).
Ia menjelaskan, dari sisi permintaan, ketidakpastian global dan normalisasi harga komoditas mendorong negara kawasan melakukan substitusi pemasok dan memperpendek rantai pasok regional. Prospek global melemah pascapengumuman tarif, sementara ekspor nonmigas Indonesia menunjukkan pola yang perlu terus didorong ke tujuan utama yang lebih resilien.
“Dengan memanfaatkan rules of origin ASEAN dan kedekatan geografis, Indonesia bisa masuk sebagai pemasok intermediate goods halal untuk pabrik di Malaysia–Singapura–Thailand, sekaligus menargetkan GCC melalui hub Malaysia/UEA,” katanya.
Menurut Josua, katalis domestik seperti stabilitas nilai tukar, inflasi IHK yang rendah, dan dorongan kredit dapat mempercepat peningkatan kapasitas produksi halal, termasuk sertifikasi, quality control, dan logistik berpendingin. Namun, rantai pasok halal nasional masih campuran.
“Di hulu, sejumlah input halal masih impor (rentan kurs), sedangkan di tengah–hilir, kemampuan sertifikasi, traceability, dan cold chain berkembang tetapi belum merata antarprovinsi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti sisi permintaan domestik yang relatif terjaga. Survei konsumen BI Juli menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen 118,1 dengan ekspektasi penghasilan enam bulan ke depan menguat.
Namun, kecenderungan konsumsi meningkat dan tabungan menurun, sehingga preferensi masyarakat condong ke produk halal yang value-for-money. Produsen disarankan menyesuaikan ukuran kemasan, strategi kanal penjualan, dan disiplin biaya agar harga tetap kompetitif.
Pada sisi produksi, PMI manufaktur Juli tercatat 49,2, naik dari 46,9 di Juni, menandakan kontraksi melambat meski biaya input masih tinggi. Josua menyarankan eksportir halal memperkuat manajemen persediaan, kontrak bahan baku jangka menengah, dan tata kelola risiko nilai tukar.
“Bila inflasi tetap rendah dan rupiah relatif stabil, maka biaya dana bank syariah berpotensi turun bertahap... itu menguntungkan working capital pembuat produk halal serta price setting di ritel,” ujarnya.
Ia menekankan strategi bagi perbankan syariah mencakup percepatan value-chain financing halal, penurunan biaya dana ke produsen ekspor, dan pemanfaatan penjaminan pemerintah untuk pembiayaan UMKM halal. Sementara pelaku industri halal perlu disiplin dalam cost-to-serve, memastikan product-market fit, menyiapkan sertifikasi lintas yurisdiksi, hingga memperkuat kemitraan cold-chain.
“Dengan latar inflasi yang masih terjaga dan stabilitas rupiah yang didukung kebijakan... kombinasi langkah-langkah ini meningkatkan pricing power tanpa kehilangan volume, dan memaksimalkan peluang trade diversion halal di ASEAN–GCC,” katanya.