Kasus gugatan Ari Bias terhadap penyanyi kenamaan Agnez Mo di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjadi babak baru dalam industri musik. Majelis Hakim memenangkan pencipta lagu “Bilang Saja” itu dan mendenda Agnez sebesar Rp 1,5 miliar karena menyanyikan lagu tersebut untuk tujuan komersil tanpa izin.
Putusan itu menggulirkan preseden gugatan hak cipta serupa seperti pada kasus Keenan Nasution dan Rudi Pekerti versus Vidi Aldiano. Dua musisi senior itu menganggap Vidi menyanyikan lagu ciptaan keduanya, “Nuansa Bening”, tanpa izin di 31 penampilan langsung (live event) tanpa izin sehingga menggugatnya Rp 24,5 miliar dan sita rumah miliknya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta pasal 23 ayat (5) mengatur bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
UU tersebut mengamanatkan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) menangani pengumpulan royalti penggunaan karya cipta lagu untuk kemudian mendistribusikannya kepada pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait.
Sistem ini disebut sebagai blanket licensing alias royalti ditarik secara kolektif melalui sebuah lembaga bernama LMK-LMKN. Di luar negeri, LMK dikenal sebagai Collective Management Organization.
Namun, sebagian pencipta tak puas dengan pelaksanaan UU Hak Cipta dan manajemen royalti tersebut. Mereka berhimpun dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) untuk memperjuangkan hak atas royalti yang dinilai kurang memuaskan saat didistribusikan oleh LMKN.

Ketua Umum AKSI Piyu “Padi Reborn” menyebut pada 2024 hanya menerima royalti sekitar Rp 125.000 setelah dipotong pajak penghasilan (PPh). Sementara itu, pada tahun sebelumnya, 2023, Piyu mengaku menerima Rp 349.283.
AKSI mengusulkan agar pencipta bisa menerapkan direct licensing—perjanjian lisensi secara langsung antara pencipta dengan pengguna karya ciptanya (performer/penyanyi) pada live event atau konser tanpa perantara LMK.
Namun LMKN menilai aturan yang berlaku di Indonesia kini mengenai hak cipta hanya melalui blanket licensing melalui LMK. Jika hendak menggunakan direct licensing, Komisioner LMKN Johnny Maukar menyebut perlu ada pengubahan aturan mengenai itu.
Ia menilai putusan Ari Bias vs Agnez Mo bisa membuat chaos antara penyanyi dan pencipta, apalagi jika pencipta hendak menerapkan direct licensing yang berarti akan menagih royalti sendiri kepada para penyanyi. Padahal, LMKN berpendapat penyanyi dan pencipta seharusnya tidak saling menuntut.

kumparan berbincang panjang-lebar 1,5 jam berkenaan polemik royalti penyanyi pencipta lagu dengan Ketua LMKN Dharma Oratmangun dan Komisioner LMKN Johnny Maukar, Yessy Kurniawan, dan Ikke Nurjanah di kantornya Gedung Palma One, Jakarta Selatan, pada Rabu (4/6). Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana LMKN melihat aturan yang berlaku saat ini di Indonesia terkait performing right pencipta lagu? Apakah wajib via LMKN (blanket licensing) atau bisa juga langsung ke penyanyi (direct licensing)?
Dharma Oratmangun Ketua LMKN
Tentunya ya kami bagi kami pedomannya adalah undang-undang, kemudian ada aturan pelaksanaannya dan regulasi tentang besaran tarif, tentang tata kelolanya dan lain sebagainya. Tapi intinya sebuah karya cipta lagu, sebuah lagu itu ada pemilik haknya, ya, penciptanya.
Sebuah karya cipta ketika digunakan di ruang-ruang publik secara komersial yaitu tentunya kan harus minta izin dari pemilik hak cipta maupun hak terkait tadi. Nah, untuk khusus untuk performing rights juga diatur dalam regulasi bahwa pemilik hak cipta mendapatkan hak ekonominya itu melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
Mekanisme tata kelolanya kita jadi undang-undang dan segala turunannya itu dia tidak berdiri sendiri-sendiri pasal-pasalnya. Ada pasal ini berkaitan dengan pasal ini, ayat ini, dan dia dalam satu kesatuan.
Bagi kami Lembaga Manajemen Kolektif, kami tidak mau masuk di wilayah apa namanya menyalahkan ini, menyalahkan itu. Tidak, tidak, tidak. Kami pelaksana dari apa yang diatur dalam regulasi. Nah, ada gagasan-gagasan bagus apapun juga, juga ada momentum perubahan Undang-Undang Hak Cipta yang sedang digagas oleh sahabat kita, Ibu Melly Goeslaw (anggota Komisi X DPR).

Ada pihak seperti Ahmad Dhani (Ketua Dewan Pembina AKSI), yang ingin menerapkan direct licensing. Nah, sebenarnya hal ini dimungkinkan atau tidak? Di luar regulasi atau tidak?
Dharma Oratmangun Ketua LMKN
Dengan Bung Ahmad Dhani kita saling berkomunikasi dengan Piyu, sahabat-sahabat dari AKSI. Gagasan-gagasan yang bagus dalam rangka memperjuangkan hakikat dari hak cipta dan pemilik hak cipta, semua bagus, semua punya value yang baik. Nah, kita lihat dalam asas kelaziman kemudian undang-undangnya. Jadi, kita mencari titik-titik temu yang tidak bertabrakan dengan regulasi yang ada. Kalau belum diatur, bagaimana kita mengatur ke depan? Begitu.
Secara kelaziman dan regulasi yang ada saat ini, apakah direct licensing itu melanggar undang-undang atau tidak—karena ada kekosongan hukum soal direct licensing?
Komisioner LMKN Johnny Maukar
Kita baca saja (aturannya). Jadi itu diatur di UU (Hak Cipta) ada mengenai tugas dan fungsi dari LMKN. Kemudian lebih detail lagi itu diatur di dalam PP (56/2021). Jadi dibaca saja tuh di PP itu terus saja "Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan atau musik dalam bentuk publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau melalui LMKN". Jelas kan. Bukan melalui langsung ke pencipta, bukan.
Untuk pertunjukan, untuk komunikasi, penyiaran. Nah, ketiga itu diatur pembayaran royaltinya itu melalui LMKN. Nanti LMKN distribusikan kepada LMK untuk diteruskan ke pemberi kuasa atau anggotanya kan. Itu sudah bagus, sudah diatur itu sudah bagus.

Kalau mau (pencipta) nagih-nagih sendiri, mau (meminta) harus bayar sendiri, harus bayar sendiri, nagihnya ke siapa? Akhirnya kan sekarang yang promotor (penyelenggara event konser) lepas tangan. Nah, (yang) demen dialah kan, seharusnya dia yang bayar kan, promotor yang harus bayar itu. Dia yang paham berapa-berapa jual tiket yang laku, kalau mau hitung 2% (pembagian royalti dari hasil penjualan tiket) dari situ dia tahu kan. Mana penyanyi tahu tidak? Jadi itu harus diartikan bahwa itu kewajiban dari promotor.
Nah kalau mau "oh bayar langsung ke penyanyi" ya boleh-boleh saja tapi bikin dulu peraturannya.
Bagaimana sebenarnya LMKN mengelola royalti pencipta dan pemilik hak terkait? Sebab ada yang menganggap bahwa LMKN kurang transparan karena pendapatan pencipta lagu kecil dari LMK.
Komisioner LMKN Yessy Kurniawan
Kita ada sebuah teknologi lisensi yang kita bangun di LMKN. Jadi teman-teman dari promotor atau EO atau siapapun penyelenggara dapat mengakses ke dalam sistem ini ya. Nah, dan ini sudah berjalan 2,5 tahun ya. Dan kita mempunyai data yang sangat lengkap ya.
Jadi di LMKN itu berbasis kepada teknologi ya. Ini sebagai contoh yang sedang berjalan ada performa sekitar 397 buah performa bernilai 3,1 miliar. Kemudian itu sudah apa, paid sudah diterima pembayarannya itu sebesar 2,8 M. Konser, dan di dalam sini ada konser, ada pameran, ada seminar, dan ada bazar, ini hanya yang live event saja.
Kita sudah mengukur di mana saja pembayaran itu berasal. Setiap hari kita bisa lihat berapa yang bayar dan berapa yang tidak bayar, berapa yang kita follow up, berapa itu sudah kita l...