Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), Alexandra Askandar, mengungkapkan Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 4.000 triliun untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030.
Menurut Alexandra, kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai sangat terbatas untuk menutup semua kebutuhan tersebut.
“APBN yang saat ini juga masih terbebani untuk mendukung berbagai program inti, hanya bisa menyuplai sekitar USD 3 miliar per tahun. Jadi gap-nya masih besar, dan harus dicari dari sumber non-APBN,” ujar Alexandra dalam acara Karya Kreatif Indonesia di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (8/8).
Berdasarkan data yang dipaparkan Alexandra, sektor energi dan transportasi menyumbang kebutuhan terbesar pembiayaan, yaitu sebesar USD 245,9 miliar.
Kemudian disusul sektor kehutanan dan tata guna lahan sebesar USD 21,7 miliar, pengelolaan limbah USD 13 miliar, industri proses (IPPU) USD 0,06 miliar, dan pertanian USD 0,5 miliar.
Dengan gap pembiayaan yang besar, dibutuhkan investasi tambahan dari luar APBN sebesar USD 18,6 miliar per tahun.
BNI menilai tantangan utama dalam mendorong pembiayaan hijau datang dari tiga aspek, yakni regulasi, infrastruktur dan teknologi, serta pembiayaan itu sendiri.
Dari sisi regulasi, Alexandra menyebut belum ada insentif maupun disinsentif yang jelas dan mampu mendorong sektor industri untuk segera bertransisi ke praktik ramah lingkungan.
“Tantangan dan strategi, pertama dari sisi regulasi, kemudian teknologi dan infrastruktur, serta dari sisi pembiayaan. Dari sisi regulasi, bahwa saat ini belum ada insentif atau disinsentif yang clear yang akan mendorong perusahaan atau institusi itu untuk segera melakukan transisi,” ujarnya.
Meskipun sudah ada Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI), Alexandra menilai implementasinya masih terbatas pada tahap kesadaran dan belum masuk ke tahap penegakan yang bersifat mengikat.
Sementara di sisi infrastruktur, keterbatasan teknologi hijau dan tingginya biaya investasi menjadi penghambat utama. Dia memberi contoh masih minimnya stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di wilayah-wilayah terpencil.
"Kalau kita bicara untuk pengisian baterai untuk kendaraan EV, apakah sudah bisa di remote area? Saya yakin pasti kita akan kesulitan untuk menemukan SPKLU di daerah-daerah yang remote, karena semuanya masih terkonsentrasi di kota-kota besar maupun di Pulau Jawa,” ucapnya.