
MANADO - Pelarangan bedah buku soal Ahmadiyah yang rencananya akan diselenggarakan di kampus IAIN Manado, Senin (2/6) oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), menjadi yang pertama terjadi di daerah Nyiur Melambai.
Ini dikatakan Direktur LBH Manado, Satriano Pangkey saat jumpa pers bersama dengan Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KAKBB) Sulut.
Menurut Satriano, diskusi publik yang 'dibredel' tersebut, jadi yang pertama terjadi di Sulut dan penting untuk diadvokasi secara bersama-sama. Dia sangat menyayangkan kampus yang selama ini memiliki branding sebagai kampus multikultural, ternyata bisa diintervensi oleh organisasi masyarakat.
"Untuk itu jika ini hanya disikapi dengan cara biasa, ini akan akan menjadi problem struktural yang mengancam ruang-ruang demokratis. Dan itu tak bisa dibiarkan, karena bisa terjadi di lain hari," ujar Satriano.

Lebih lanjut, Satriano mengatakan jika ini merupakan problem penting yang harus diadvokasi bersama-sama, karena hingga 27 tahun reformasi, ini sejarah pertama diskusi bedah buku di kampus di Sulut yang dibredel.
Apalagi menurut Satriano, dengan label sebagai daerah yang toleran dan memang secara kultural sudah tercipta sejak lama, seharusnya hal-hal intoleran seperti ini bisa dihindarkan.
"Kampus yang harusnya menjadi mimbar bebas berdiskusi, pada akhirnya tergerus dan terintervensi. Kampus multikultural terhegemoni oleh organisasi masyarakat. Seharusnya kampus bisa melawan karena ini adalah diskusi ilmiah,” ujarnya kembali.
Sementara itu, aktivis perempuan Sulut, Nur Hasanah, menyebutkan jika mulai adanya bibit intoleransi di Kota Manado bisa berdampak juga pada perempuan dan anak dari keluarga jemaah Ahmadiyah. Pasalnya, selama ini, di Manado tidak ada kasus seperti ini.
Nur juga membagikan pengalamannya mengenal para jemaah Ahmadiyah selama beberapa tahun terakhir. Menurutnya, dia sangat merasa nyaman saat berkomunikasi serta menjalin relasi dengan baik.
"Manado salah satu kota toleran justru dicederai dengan terjadinya hal seperti ini," ujar Nur.
Selain itu, Nur juga menyebut selama ini jemaah Ahmadiyah selalu memberikan kontribusi yang sangat berharga untuk warga di Sulawesi Utara maupun Indonesia secara luas.
Beberapa tindakan kemanusiaan seperti donor darah, donor mata hingga sering membantu masyarakat menjaga lingkungan juga sering dilakukan jemaah Ahmadiyah.
“Kita tidak boleh tunduk kepada pihak-pihak yang intoleransi yang ada di Manado. Cukup satu kali ini dan tidak ada yang kedua kalinya. Apalagi jika ada pihak-pihak yang lempar batu sembunyi tangan,” ujar aktivis dari Swara Parangpuan Sulut ini.
Sebelumnya, bedah buku berjudul “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah” yang ditulis oleh akademisi asal Gorontalo, Dr Samsi Pomalingo, di Aula IAIN Manado, harus dibatalkan.
Pembatalan ini terjadi setelah adanya surat dari MUI Kota Manado dan Sulawesi Utara ke Rektorat IAIN Manado yang memberikan imbauan agar kajian soal Ahmadiyah itu tak dilakukan.
Di surat itu, MUI beralasan adanya SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah, serta menambahkan embel-embel akan terjadinya situasi yang tak kondusif.