
Lima terdakwa korporasi yang tergabung di Wilmar Group telah mengembalikan uang sebesar Rp 11,8 triliun terkait kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). Uang tersebut telah diserahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.
Lima korporasi tersebut yakni: PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
"Bahwa dalam perkembangannya, kelima terdakwa korporasi tersebut beberapa saat yang lalu mengembalikan sejumlah uang kerugian negara yang ditimbulkan. Total seluruhnya seperti kerugian yang telah terjadi yaitu Rp 11.880.351.802.619 [Rp 11,8 triliun]," ujar Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno, Selasa (17/6).
Rincian masing-masing uang yang dikembalikan oleh kelima korporasi tersebut yakni sebagai berikut:
PT Multimas Nabati Asahan sebesar: Rp3.997.042.917.832,42;
PT Multi Nabati Sulawesi sebesar: Rp39.756.429.964,94;
PT Sinar Alam Permai sebesar: Rp483.961.045.417,33;
PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar: Rp57.303.038.077,64; dan
PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar: Rp7.302.288.371.326,78.
"Bahwa selanjutnya terhadap jumlah uang yang telah dikembalikan tersebut, Penuntut Umum telah melakukan penyitaan berdasarkan penetapan izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 40/PID.SUS/TPK/2025 PN Jakarta Pusat," ucap Sutikno.
"Penyitaan tersebut dilakukan pada tingkat penuntutan dengan mendasarkan ketentuan Pasal 39 ayat 1 huruf a juncto Pasal 38 ayat 1 KUHAP untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi," imbuhnya.

Selanjutnya, kata dia, uang sitaan itu diajukan sebagai tambahan memori kasasi atas vonis lepas yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap para terdakwa itu.
"Sehingga, keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh Hakim Agung yang memeriksa kasasi, khususnya terkait uang tersebut supaya dikompensasikan untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para terdakwa korporasi," tutur dia.
Adapun dalam konferensi pers di Gedung Jampidsus Kejagung, Selasa (17/6), uang sitaan itu dipamerkan di hadapan awak media. Namun, jumlahnya hanya sebesar Rp 2 triliun.
Sutikno menyebut, pihaknya tidak memamerkan uang sebesar Rp 11,8 itu lantaran dengan mempertimbangkan kondisi tempat dan faktor keamanan.
"Yang kita lihat sekarang ini di sekeliling kita ini ada uang, ini total semuanya nilainya Rp 2 triliun. Uang ini merupakan bagian dari uang yang tadi kita sebutkan Rp 11.880.351.802.619," terang dia.
"Kenapa tidak kita rilis secara bersama senilai jumlah tersebut? Ini karena faktor tempat dan faktor keamanan tentunya, sehingga kami berpikir jumlah ini cukup untuk mewakili jumlah kerugian negara yang timbul akibat perbuatan para terdakwa korporasi yang tergabung dalam Wilmar Group," pungkasnya.

Kasus ini bermula saat Kejagung menetapkan lima orang tersangka. Mereka adalah:
Eks Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indra Sari Wisnu Wardhana;
Eks Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master, Parulian Tumanggor;
Eks Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alamlestari, Stanley MA;
Eks General Manager (GM) Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; dan
Tim Asistensi Menko Bidang Ekonomi, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Weibinanto disebut mengobral izin ekspor kepada sejumlah eksportir. Untuk memuluskan aksinya, Weibinanto bekerja sama dengan Indra Sari dan menguntungkan sejumlah pihak. Termasuk tiga korporasi yang mendapatkan izin ekspor. Kelima tersangka tersebut sudah divonis di pengadilan.
Dalam perkembangannya, kasus tersebut menyeret tiga grup korporasi minyak goreng sebagai terdakwa, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Dalam sidang putusan, ketiga grup korporasi tersebut dinyatakan bersalah, tetapi hakim menilainya bukan suatu tindakan pidana. Dengan begitu, ketiganya dijatuhi vonis lepas atau ontslag oleh Majelis Hakim.
Sebelumnya dalam tuntutannya, JPU menuntut para terdakwa agar membayar sejumlah denda dan uang pengganti.
Terdakwa PT Wilmar Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619. Jika tidak dibayarkan, harta Direktur PT Wilmar Group, Tenang Parulian dapat disita dan dilelang. Apabila tidak mencukupi, Tenang dikenakan subsider pidana penjara 19 tahun.
Lalu, Permata Hijau Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 937.558.181.691,26. Jika tidak dibayarkan, harta pengendali lima korporasi di bawah Permata Hijau Group, David Virgo dapat disita dan dilelang. Bila tidak mencukupi, ia dikenakan subsider penjara selama 12 bulan.
Bagi terdakwa Musim Mas Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 4.890.938.943.794,1. Jika tidak dibayarkan, harta milik Direktur Utama Musim Mas Group, Gunawan Siregar dan sejumlah pihak pengendali korporasi di bawah Musim Mas Group dapat disita dan dilelang. Bila tidak cukup, mereka mendapatkan subsider penjara masing-masing selama 15 tahun.
Imbas vonis lepas itu, Kejagung kemudian mengendus adanya dugaan suap di balik putusan tersebut. Dalam pengusutan kasus itu, sudah ada delapan tersangka yang dijerat penyidik Kejagung.
Para tersangka dari pihak pemberi suap, yakni dua pengacara Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso serta pihak legal Wilmar Group, Muhammad Syafei.
Sementara, untuk pihak penerima suap ada lima orang tersangka yakni Muhammad Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Wahyu Gunawan (mantan Panitera Muda PN Jakpus) serta majelis hakim yang menyidangkan korporasi terdakwa CPO: Djuyamto, Agam Syarif, dan Ali Muhtarom.