Oleh : Mohammad Nur Rianto Al Arif, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah/Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan berkualitas bukan sekadar mimpi, melainkan sebuah keniscayaan yang harus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia. Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang begitu cepat, pendidikan menjadi fondasi utama untuk mencetak generasi yang tangguh, adaptif, dan siap bersaing di kancah global.
Namun, kualitas pendidikan Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Laporan PISA (Programme for International Student Assessment) yang dirilis oleh OECD secara berkala menunjukkan capaian yang masih memprihatinkan dalam aspek literasi, numerasi, dan sains. Di sisi lain, berbagai studi lokal pun mencatat rendahnya kompetensi guru, lemahnya implementasi kurikulum, serta tidak meratanya sumber daya pendidikan di seluruh pelosok negeri.
Dalam konteks inilah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) memperkenalkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai bagian dari strategi penjaminan mutu pendidikan nasional. TKA menjadi instrumen baru dalam memetakan dan mengevaluasi capaian pembelajaran serta kompetensi akademik siswa dan guru secara lebih terukur, objektif, dan komprehensif.
Tes Kompetensi Akademik (TKA) merupakan suatu asesmen berbasis standar nasional yang dirancang untuk mengukur capaian kompetensi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, terutama dalam bidang literasi, numerasi, serta kemampuan berpikir kritis dan reflektif.
Namun, TKA bukan sekadar ujian semacam Ujian Nasional (UN) yang telah dihapus beberapa tahun lalu. TKA akan dirancang dengan pendekatan yang lebih formatif, diagnostik, dan berorientasi pada perbaikan proses pembelajaran. Dengan demikian, TKA menjadi langkah inovatif dalam menata ulang sistem evaluasi pendidikan yang selama ini dianggap terlalu fokus pada hasil akhir tanpa memperhatikan proses dan potensi siswa secara menyeluruh.
Terdapat beberapa alasan mendasar mengapa Kemdikdasmen merasa perlu untuk meluncurkan TKA sebagai kebijakan strategis. Alasan pertama terkait dengan kebutuhan data yang lebih akurat. Selama ini, data mutu pendidikan di Indonesia sebagian besar diambil dari nilai rapor, ujian sekolah, atau hasil asesmen daerah yang cenderung tidak seragam. TKA bertujuan menyediakan data nasional yang konsisten dan terstandar, sehingga bisa digunakan untuk perencanaan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Setelah penghapusan Ujian Nasional, banyak daerah dan sekolah kebingungan mencari instrumen penilaian yang objektif. TKA bisa menjadi jembatan yang sehat dan bukan sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai alat refleksi dan evaluasi bersama. Kondisi inilah yang menjadi alasan kedua mengapa TKA harus dilakukan.
Alasan berikutnya ialah untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Dengan TKA, guru dan sekolah akan mendapatkan umpan balik yang detail terkait capaian peserta didiknya. Hal ini diharapkan mendorong perbaikan metode pengajaran, penyusunan program remedial, hingga pengembangan kurikulum lokal yang adaptif.
Keempat, melalui TKA, pemerintah bisa memetakan secara lebih adil mana sekolah atau daerah yang tertinggal dari sisi kompetensi siswa. Intervensi seperti pelatihan guru, bantuan buku, hingga infrastruktur pendidikan bisa dilakukan secara lebih berbasis bukti (evidence-based policy).
Banyak masyarakat yang masih menganggap TKA sebagai pengganti terselubung dari Ujian Nasional (UN). Padahal keduanya memiliki filosofi, tujuan, dan pendekatan yang berbeda secara mendasar. Perbedaan pertama ialah terkait dengan tujuan yang ingin dicapai. Ujian Nasional hanya mengukur hasil belajar untuk kelulusan. Sedangkan TKA lebih kepada mendiagnosis capaian belajar untuk perbaikan.
Perbedaan berikutnya dari sifatnya, dimana UN bersifat wajib dan seragam serta menentukan kelulusan. Sedangkan pada TKA lebih bersifat pilihan dan tidak menentukan kelulusan. Perbedaan ini menentukan pengaruhnya kepada siswa, dimana UN lebih memberikan tekanan tinggi dan menjadi momok bagi siswa. Sedangkan TKA lebih reflektif tanpa ancaman kelulusan.
Perbedaan berikutnya ialah dari fungsi utamanya, dimana UN lebih ke arah seleksi dan penilaian. Sedangkan TKA lebih ke arah pemantauan dan peningkatan mutu Pendidikan. Perbedaan ini penting untuk dipahami agar publik tidak salah persepsi dalam menanggapi kebijakan baru ini.
Meskipun tampak menjanjikan, implementasi TKA tidaklah tanpa tantangan. Beberapa kendala mungkin akan muncul di lapangan. Kendala pertama terkait dengan keterbatasan infrastruktur digital. Di beberapa daerah, masih terdapat keterbatasan akses terhadap perangkat komputer, jaringan internet, atau listrik yang stabil. Hal ini bisa menghambat pelaksanaan TKA yang berbasis daring.
Tantangan berikutnya berkenaan dengan kesiapan SDM. Guru dan tenaga kependidikan masih membutuhkan pelatihan untuk memahami teknis dan filosofi TKA. Tanpa pemahaman yang baik, TKA bisa disalahgunakan menjadi sekadar "ujian formalitas".
Tantangan berikutnya berkenaan dengan resistensi dari masyarakat. Sebagian orang tua dan guru masih trauma dengan sistem ujian nasional. Jika tidak disosialisasikan dengan baik, TKA bisa kembali menimbulkan kecemasan dan penolakan.
Terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan agar TKA dapat menjadi instrumen penjaminan mutu yang efektif. Rekomendasi pertama ialah pemerintah harus melakukan sosialisasi yang masif dan jelas. Pemerintah harus menjelaskan secara rinci bahwa TKA bukan alat hukuman, melainkan alat bantu. Informasi ini harus sampai ke semua level, mulai dari kepala sekolah, guru, orang tua, hingga siswa.
Rekomendasi kedua ialah peningkatan kapasitas guru. Guru adalah garda terdepan dalam implementasi kebijakan ini. Pemerintah perlu menyusun modul pelatihan TKA, memberikan pendampingan, dan menyediakan komunitas belajar yang mendukung.
Rekomendasi ketiga terkait dengan pemanfaatan hasil secara bijak. Hasil TKA tidak boleh digunakan untuk memberi label negatif atau menciptakan stigma. Hasil yang didapat harus menjadi dasar untuk tumbuh bersama, bukan untuk membandingkan dan menyalahkan.
Tes Kompetensi Akademik adalah salah satu dari sekian banyak instrumen yang ditawarkan pemerintah dalam rangka membenahi sistem pendidikan nasional. Ia bukan solusi tunggal, apalagi jawaban atas semua masalah pendidikan. Namun jika dikelola dengan baik, TKA bisa menjadi titik tolak menuju sistem yang lebih berbasis data, adaptif, dan berkeadilan.
Pendidikan yang bermutu membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan. Ia menuntut kolaborasi, kepercayaan, dan kesabaran. Seluruh elemen mulai dari pemerintah, guru, siswa, orang tua, dan masyarakat luas memiliki peran dalam memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapat hak yang sama untuk belajar dan berkembang.
TKA adalah arah baru. Namun arah ini hanya akan menjadi jalan terang jika semua pihak berjalan bersama, tanpa saling curiga, tanpa merasa dipaksa, dan tanpa melupakan bahwa pendidikan adalah tentang manusia, bukan sekadar angka.