
Pimpinan DPR telah menggelar rapat bersama Komisi II pada Senin (30/6). Rapat itu dalam rangka membahas putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan Pemilu nasional dengan lokal.
Klaster Pemilu nasional yakni Pileg DPR, DPD dan Pilpres. Sementara klaster Pemilu lokal yakni Pileg DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan Pilkada.
Namun Pemilu lokal dijalankan paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden dilantik.
Ketua Komisi II DPR Rifqinizami Karsayuda mengatakan, pihaknya sudah diundang oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad untuk membahas putusan MK ini.
"Ya tadi kami baru saja diundang oleh pimpinan DPR Bapak Prof Dr Sufmi Dasco Ahmad membicarakan soal respons DPR soal putusan MK terbaru yang memberikan gambaran kepada kita bahwa Pemilu ke depan harus dilakukan dengan dua model Pemilu," kata Rifqi kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan.

Politikus NasDem ini mengatakan, belum ada sikap resmi dari DPR terkait putusan ini. Karena itu, pertemuan dan diskusi masih harus terus dilakukan.
"DPR belum memberikan sikap resmi, izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan Mahkamah konstitusi tersebut," ucap dia.
Namun, Rifqi menilai, putusan MK kali ini kontradiktif. Sebab pada 2019, MK pernah menguji materi terkait permasalahan serupa namun dalam pertimbangan hukum meminta agar Pemilu dilaksanakan secara serentak.
"Saya kira putusan Mahkamah konstitusi itu juga kalau kita bandingkan dengan putusan Mahkamah konstitusi sebelumnya terkesan kontradiktif karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2019 melalui putusan Nomor 55 tahun 2019, itu dalam pertimbangan hukumnya, bukan dalam amar putusannya, memberikan guidance kepada pembentuk undang-undang untuk memilih 1 dari 6 model keserentakan pemilu," ucap dia.
"Yang 1 dari 6 model keserentakan pemilu itu sendiri sudah kita laksanakan pada Pemilu tahun 2024 yang lalu, tetapi kemudian pada tahun 2025 ini Mahkamah konstitusi tiba-tiba, dalam tanda kutip, bukan memberikan peluang kepada kami pembentuk undang-undang untuk kemudian menetapkan 1 dari 6 model itu di dalam revisi undang-undang Pemilu yang baru, tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu modelnya," tambah dia.

Oleh sebab itu, Rifqi bilang, DPR belum bisa memastikan apakah akan menjalankan putusan MK ini. Mereka masih akan mengkaji lebih dalam.
"Kita lagi betul-betul kita kaji yang kali ini. Karena kita juga tidak mau sekonyong-konyong melaksanakan tapi kemudian justru dalam pelaksanaan itu kita berpotensi untuk kemudian melanggar aturan," ucap dia.
"Jadi izinkan kami sedang melakukan pendalaman yang serius. DPR ini kan juga banyak pakar hukum, banyak orang yang belajar hukum, banyak orang yang mengerti tentang teori-teori konstitusi," tutur Rifqi.