
Pemerintah berencana memperkecil ukuran luas tanah dan bangunan pada rumah subsidi. Menteri PKP Maruarar Sirait menjamin nantinya rumah subsidi tetap layak, bahkan bisa ditingkat.
Dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, minimal luas tanah rumah subsidi diperkecil menjadi 25 meter persegi sampai maksimal 200 meter persegi. Sementara untuk luas lantai turut ikut diperkecil dengan minimal 18 meter persegi sampai maksimal 36 meter persegi.
Dalam program 3 juta rumah, terdapat dua jenis hunian yang menjadi fokus yakni hunian vertikal untuk daerah perkotaan dan rumah tapak untuk daerah pedesaan atau pesisir. Terkait biaya pembangunan, hunian vertikal memang membutuhkan biaya yang lebih banyak ketimbang rumah tapak.
Terkait hal ini, Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto mengungkap dari sisi biaya pembangunan, hunian vertikal memang memerlukan biaya lebih tinggi. Meski begitu dalam rencana pemerintah di program 3 juta rumah, terdapat salah satu variabel biaya dari hunian vertikal yang ditanggung pemerintah.
Dalam hal ini, variabel biaya yang dimaksud adalah tanah. Nantinya pembangunan hunian vertikal akan menggunakan tanah-tanah milik pemerintah, sehingga biaya pembangunan dapat ditekan.
“Variable cost dari tanah itu kan mungkin sekitar 50-60 persen. Sehingga karena variabel tanahnya sudah diberikan pemerintah, nanti harganya jadi terjangkau,” kata Joko kepada kumparan, Rabu (4/6).
Meski tanahnya sudah menggunakan, Joko menjelaskan biaya pembangunan hunian vertikal tetap lebih tinggi ketimbang rumah tapak. Meski begitu, Ia belum bisa memberi persentase perbedaan biaya tersebut karena belum ada contoh yang dapat dibandingkan dengan setara.
Untuk hunian vertikal, sebelumnya Indonesia juga sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Qatar yang ingin berinvestasi sebanyak 1 juta rumah dalam bentuk hunian vertikal. Terkait rencana investasi Qatar tersebut, Joko juga mengungkap pemerintah telah mendorong para pengembang untuk terlibat dalam pembangunan termasuk REI.
“Swasta kan diberi kesempatan juga. Ya mungkin bentuknya seperti apa nanti (belum tahu), beberapa kali pemerintah bilang REI harus mengambil,” ujarnya.
Selain REI, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Properti dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah juga mengungkap hal serupa. Biaya pembangunan hunian vertikal tentu lebih mahal ketimbang rumah tapak.
Selaras dengan rencana pemerintah, Junaidi juga mengungkap rencana pemerintah untuk menerapkan hunian vertikal di perkotaan memang sudah cocok karena karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan dalam sektor perumahan berbeda.
“Hunian vertikal harganya lebih mahal dari tapak untuk rumah subsidi. Hunian vertikal dibutuhkan di wilayah perkotaan dan sangat cocok, untuk di daerah (desa dan pesisir) masyarakat kita masih senang rumah tapak dan mempunyai halaman,” ujarnya.
Untuk program 3 juta rumah, Ia mengungkap nantinya jenis bangunan bisa disesuaikan dengan wilayah berdasarkan kebutuhan, kepadatan penduduk dan tingkat penghasilan.
Dalam program 3 juta rumah, sebelumnya Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah mengakui target program 3 juta rumah yang digagas Presiden Prabowo Subianto baru dapat dicapai secara optimal tahun depan. Hal ini karena anggaran Kementerian PKP saat ini adalah anggaran yang disahkan di era Presiden Jokowi.

“Anggaran kita tahun APBN 2025 yang disahkan di zaman Pak Jokowi. Renovasi saja itu cuma Rp 850 miliar, enggak sampai Rp 1 triliun,” kata Fahri ditemui di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat pada Selasa (29/4).
“Itu hanya meng-cover kurang dari 40 ribu, sekitar 35 ribu rumah (renovasi). Jadi sekali lagi karena ini memakai APBN tahun 2025 yang disahkan di zaman Pak Jokowi, maka itu belum sepenuhnya merefleksikan kebijakan Pak Prabowo terkait 3 juta rumah,” katanya.
Dia menjelaskan alasan mengapa program 3 juta rumah baru dapat dicapai secara optimal tahun depan. Hal ini karena program 3 juta rumah secara keseluruhan baru akan dibahas dan disampaikan dalam Nota Keuangan APBN 2026.
Fahri juga mengimbau Pemerintah Daerah untuk mempersiapkan sistem perumahan di daerah masing-masing dalam rangka penyerapan program 3 juta rumah secara optimal di APBN 2026.