Ada cara tertentu sebuah langkah mengetuk pintu, dan dari cara itu kita bisa menebak apa yang dibawanya. Ada langkah yang tergesa, ada yang ragu, ada pula yang seolah menahan beban yang tak kasatmata. Sowan, bagi sebagian orang, adalah cara mencari pegangan. Bagi yang lain, ia sekadar kebiasaan yang dijalankan seperti rutinitas: dilakukan tanpa benar-benar dipikirkan maknanya.
Tapi sesekali, ada sowan yang berbeda. Tidak membawa bingkisan, tidak membawa keluhan, tidak membawa proposal yang hendak diselipkan di antara kitab-kitab kiai. Hanya membawa senyum, seolah kedatangannya sendiri sudah cukup menjadi alasan. Saya kira, sowan seperti ini adalah cara paling sunyi untuk berkata: saya hadir karena ingin hadir, bukan karena ingin mengambil sesuatu.
Kebanyakan sowan tidak seperti itu. Wajah yang datang sering menyerupai langit sore sebelum hujan—muram dan berat. Mereka membawa cerita tentang rumah tangga yang retak, utang yang menggunung, bisnis yang runtuh, atau ketidakadilan yang mereka yakini menimpa hidupnya. Dalam benak mereka, kiai adalah pintu terakhir: tempat semua kunci terkumpul. Padahal, mungkin pintu-pintu itu tidak pernah benar-benar terkunci; kita saja yang terlalu takut atau terlalu malas mengetuknya sendiri.
Ada pula sowan yang lebih rapi, lebih ramah, bahkan terasa meyakinkan. Mereka datang dengan senyum yang dipoles, hadiah yang dikemas rapi, dan kata-kata yang dipilih hati-hati. Namun di balik semua itu, ada kepentingan yang diam-diam bersembunyi: restu untuk sebuah jabatan, legitimasi untuk sebuah ambisi. Dalam sowan seperti ini, kiai berubah menjadi semacam loket pengesahan. Tangan memang dicium, tetapi niatnya tidak setulus doa yang diminta.
Yang membuat saya selalu berhenti sejenak untuk merenung adalah cara kiai menatap semua orang yang sowan kepadanya. Tatapan itu bukan sekadar melihat, melainkan membaca. Dari cara seseorang menarik napas, dari cara tangan diletakkan di pangkuan, dari bahasa tubuh yang lebih jujur daripada lisan, beliau tahu siapa yang datang dengan luka tulus dan siapa yang datang dengan topeng.
Namun yang menarik, pengetahuan itu tidak pernah dipakai untuk menghakimi. Kiai tetap mendengarkan. Tidak ada yang dipotong, tidak ada yang dipermalukan. Mungkin karena beliau paham satu hal yang jarang kita sadari: bahwa manusia tidak selalu datang untuk menemukan jawaban. Kadang kita hanya butuh merasa diterima, supaya kesedihan kita tidak terasa begitu sepi.
Di titik ini saya melihat sowan bukan lagi sekadar ritual menghormati guru, tetapi semacam cermin. Apa yang kita lihat dari pertemuan itu sering kali bukan kiai, melainkan diri kita sendiri: dengan segala kepentingan, ketakutan, dan mungkin, dengan keberanian yang belum pernah kita uji—keberanian untuk datang tanpa meminta apa-apa.
Dan saya kira, keberanian itu tidak muncul begitu saja. Untuk sowan tanpa permintaan, seseorang harus terlebih dahulu berdamai dengan kekurangannya sendiri. Sebab selama kita percaya bahwa nilai sebuah pertemuan diukur dari apa yang kita peroleh darinya, kita akan terus datang dengan tangan kosong yang berharap diisi. Padahal, kadang nilai sebuah sowan justru lahir dari apa yang kita lepaskan.
Bayangkan jika suatu hari kita membalik kebiasaan itu. Kita sowan bukan karena hidup terasa sempit, tapi karena ingin meluaskan dunia orang lain. Kita datang bukan dengan daftar permintaan, melainkan dengan pertanyaan sederhana: Apa yang bisa saya bantu, Yai?
Sowan macam itu, yang ringan seperti cahaya pagi menembus celah jendela, bisa jadi akan mengubah cara kita memandang segalanya. Karena di sana kita belajar bahwa keberadaan kita tidak harus menjadi pusat perhatian; kadang cukup menjadi bagian kecil yang membantu sesuatu tetap berjalan.
Dan barangkali, barakah yang kita cari selama ini tidak selalu hadir lewat doa yang diucapkan kiai, melainkan lewat kesadaran yang lahir diam-diam: bahwa hidup menjadi lebih utuh ketika kita tidak hanya menjadi gelas yang menunggu diisi, tetapi sesekali menjadi air yang mengalir memberi kehidupan.
Mungkin itu cara paling jujur untuk pulang: bukan ketika kita membawa sesuatu dari sowan, tetapi ketika kita meninggalkan sesuatu yang lebih ringan daripada ambisi, lebih sederhana daripada harapan—niat untuk hadir tanpa meminta apa-apa.