REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebuah rumah tua berarsitektur lawas yang telah berdiri sejak tahun 1900-an kembali bernapas di sebuah sudut Yogyakarta. Rumah itu adalah Omah Jayeng, tempat di mana maestro sinema Indonesia, Garin Nugroho, menghabiskan masa kecilnya.
Rumah ini adalah saksi bisu dari lahirnya berbagai pergerakan seni budaya penting, termasuk Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).
Setelah pertama kali dibuka untuk publik pada tahun 2009, kini, enam bulan terakhir, Omah Jayeng kembali menggeliat dengan energi baru. Didukung oleh Dana Indonesiana dan Kementerian Kebudayaan RI, rumah ini bertransformasi menjadi sebuah 'Oasis Kebudayaan', sebuah ruang publik alternatif yang vital bagi denyut nadi kreativitas di Indonesia.
Di sela-sela acara obrolan perfilman dan peluncuran buku karyanya, Selasa (12/8/2025) malam, Garin mengatakan, Omah Jayeng ingin mengambil peran yang unik. Di tengah Yogyakarta yang riuh dengan ribuan acara sosial dan budaya, Omah Jayeng tidak mencoba bersaing di panggung-panggung besar, melainkan secara sadar memilih untuk menjadi rumah bagi ekspresi seni yang lebih kecil, intim, dan terkadang dianggap marjinal.
"Omah Jayeng justru ambil sisi yang marginal. Kecil tapi efektif untuk punya event yang seringkali tidak mendapat ruang di tempat lain, karena memang tidak membutuhkan penonton yang besar," ujar Produser Pelaksana Program, Galih Wicaksono.
Ia mencontohkan bagaimana Omah Jayeng memberikan panggung bagi sekelompok mahasiswa dari Kalimantan yang ingin mempresentasikan tari dan musik tradisi mereka, sebuah pertunjukan yang mungkin akan tenggelam di tengah kemegahan acara lain namun menemukan kehangatan dan apresiasi di ruang ini.
Lebih dari sekadar ruang pamer, misi utama Omah Jayeng adalah untuk menjadi laboratorium berpikir kritis. Di tengah situasi di mana narasi publik seringkali dangkal, ruang ini sengaja diciptakan untuk memantik diskusi dan refleksi yang mendalam.
“Kita sebagai bangsa harus punya cara berpikir kritis. Penonton (di Omah Jayeng) mungkin sedikit, tapi diperlukan untuk kepentingan hidup bersama," kata Galih.
Meskipun baru aktif kembali selama enam bulan, produktivitas Omah Jayeng sudah terasa nyata. Berbagai program lintas disiplin telah berhasil diselenggarakan. Di antaranya Pameran 'Ruang, Ingatan dan Layar' yang dibuka dengan fragmen tari 'Ibu Pertiwi', kemudian Pemutaran film karya Garin Nugroho dan sineas lokal di empat kota yang menjangkau 500 penonton daerah, Produksi film dokumenter 'Krisis' yang disutradarai oleh dokumenteris kawakan, Toni Trimarsanto serta produksi buku 'Made In Indonesia' karya Garin Nugroho.