
Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu menilai skema Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia perlu dikaji ulang karena dinilai terlalu berfokus pada penghentian PLTU batu bara (coal exit) tanpa mempertimbangkan aspek transisi energi secara menyeluruh.
Kemitraan JETP adalah inisiatif pendanaan transisi energi senilai lebih dari USD 20 miliar yang disepakati antara Indonesia dan negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG).
“Just Energy Transition Partnership adalah contoh salah. Ada kelemahan dalam langkah tersebut. Dalam instansi pertama, ini menjadi proposal G7 tanpa benar-benar berpikir melalui semua tantangan,” ujar Mari di acara Indonesia Net-Zero Summit 2025 di Djakarta Theatre, Jakarta, Sabtu (26/7).
Menurutnya, JETP sebagai program donor internasional seharusnya membantu Indonesia melakukan dekarbonisasi sistem energi, tetapi pendekatannya mesti dijalankan secara komprehensif.
“Kita memiliki USD 20 miliar, lebih dari apa yang Afrika Selatan dapatkan, USD 8 miliar. Tapi sekarang JETP sedang mengalami masalah,” katanya.
Mari juga menyoroti keluarnya dana dari Amerika Serikat (AS) yang dinilai cukup signifikan. Menurutnya, transisi energi tidak bisa hanya soal menutup PLTU batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan.
“Ini bukan hanya tentang, ‘baiklah, mari kita keluar dari coal, mengambil energi terbarukan’. Bagaimana dengan orang-orang yang bekerja di sektor itu? Bagaimana membangun jaringan listriknya? Dari mana teknologinya? Dan bagaimana membuat energi terbarukan terjangkau bagi masyarakat bawah?” jelasnya.

Mari Elka Pangestu menilai komitmen pendanaan JETP masih jauh dari cukup untuk membiayai proses transisi energi yang adil dan menyeluruh. Menurutnya, kebutuhan riil bisa mencapai USD 100 miliar-USD 200 miliar, jauh melampaui angka yang telah dijanjikan.
Dia menekankan persoalan transisi energi bukan hanya soal nominal dana, tetapi juga menciptakan ekosistem yang mampu menarik investasi swasta.
Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan platform energi nasional yang kredibel dengan rencana yang jelas, termasuk skema insentif seperti feed-in tariffs agar pengembangan energi terbarukan menjadi lebih menarik bagi investor.
Mari melanjutkan, transisi energi yang adil mestinya memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan infrastruktur agar tidak hanya menjadi proyek keluar dari batu bara, melainkan membangun sistem energi baru yang inklusif dan berkelanjutan.