Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membeberkan 100 ribu tenaga kerja industri terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) imbas pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Juru Bicara Febri Hendri Antoni Arief mengatakan kabar pembatasan HGBT ini diumumkan oleh produsen gas bumi yang bisa menimbulkan luka bagi industri. Dia menyoroti peran vital gas bumi baik sebagai bahan baku maupun sumber energi dalam proses produksi.
Industri pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet merupakan beberapa subsektor industri penerima manfaat program HGBT. Dengan adanya pembatasan HGBT, maka sederet subsektor industri tersebut berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan hingga penutupan usaha dan PHK pekerja industri.
“Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan,” kata Febri dalam keterangannya, Senin (18/8).
Selain itu, Febri juga menyoroti mandeknya pasokan gas dalam program HGBT yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) dengan harga sekitar USD 6,5 per MMBTU. Sementara pasokan gas konvensional tanpa subsidi terpantau lancar.
“Ini yang mengherankan. Pasokan gas harga di atas USD 15-17 lancar. Tapi, pasokan gas USD 6,5 tidak lancar. Jika terjadi pengetatan, harga melonjak hingga USD 15–17 per MMBTU. Ini kan aneh. Mesin-mesin produksi bisa terpaksa dihentikan, dan untuk menyalakan kembali butuh waktu lama serta energi dan biaya lebih besar,” imbuhnya.
Febri menjelaskan selain mempengaruhi produksi dan tenaga kerja, mandeknya pasokan gas bumi murah tersebut juga bisa mempengaruhi harga produk akhir. Pada akhirnya daya saing industri lokal tergerus produk luar.
“Jika bahan baku naik, otomatis harga produk juga naik. Akibatnya, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk dari luar negeri,” ujarnya.
Febri menekankan kestabilan pasokan energi bisa menjadi salah satu faktor keberlanjutan industri yang bisa mendorong investasi dan memperkuat daya saing.
“Pengurangan pasokan ini akan berdampak pada ketersediaan pupuk, yang merupakan komponen strategis bagi ketahanan pangan. Industri oleokimia juga terkena imbasnya, sehingga kebutuhan dalam negeri dapat terganggu,” jelasnya.
“Kalau memang pasokan terbatas, mengapa industri masih bisa membeli gas ketika harganya melonjak hingga USD 17 per MMBTU? Kalau gas harga USD 6,5 pasokannya terbatas. Ini patut dipertanyakan,” tuturnya.
Dia memastikan setiap anggaran yang dikeluarkan negara untuk program gas bumi murah akan menciptakan nilai tambah dari produk hilir yang jauh lebih besar.
“Setiap Rp 1 yang hilang di hulu bisa dikompensasi Rp 3 dari penciptaan nilai tambah diproduk hilir industri pengguna HGBT. Karena itu, lebih bijak bila pendapatan negara difokuskan pada pajak produk hilir hasil hilirisasi gas HGBT ini, bukan pada gas di hulu,” jelasnya.