
Seorang dosen bukanlah sekadar pekerja dengan jam kantor tetap, yang kehadirannya diukur dalam bilangan jam dan yang tugasnya selesai begitu matahari tenggelam. Profesi ini menuntut lebih dari sekadar rutinitas administratif; ia menuntut suatu keterpanggilan intelektual, suatu pengabdian yang tak mengenal batas waktu dan ruang. Seorang dosen, dalam makna yang sejati, adalah penjaga gerbang ilmu pengetahuan, seseorang yang tak hanya menyampaikan fakta dan teori kepada mahasiswa, tetapi juga menanamkan cara berpikir rasional, kritis, dan independen.
Tridharma Perguruan Tinggi—pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat—bukanlah sekadar slogan yang terpampang dalam dokumen akademik, melainkan prinsip yang menuntut keterlibatan sepenuh hati.
Pendidikan dan pengajaran tak hanya terjadi di dalam kelas, melainkan dalam percakapan-percakapan intelektual yang spontan, dalam bimbingan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam, dalam upaya tiada henti menyalakan gairah berpikir dalam diri mahasiswa.
Penelitian, pada gilirannya, bukan sekadar kewajiban administratif yang harus dipenuhi demi angka kredit, melainkan pencarian tanpa henti akan pemahaman lebih dalam terhadap kenyataan, suatu usaha memperluas cakrawala pengetahuan manusia.
Maka, pengabdian kepada masyarakat bukanlah sekadar keterlibatan seremonial dalam program-program pengabdian terjadwal, melainkan sebuah tanggung jawab moral yang menuntut seorang akademisi untuk menggunakan pengetahuannya demi kebaikan yang lebih luas. Sebuah gagasan benar, jika disampaikan dengan ketulusan dan kejelasan, dapat membawa perubahan sosial yang mendalam—dan di sinilah letak kewajiban seorang dosen yang sejati.

Jadi, jika ada yang membayangkan profesi dosen sebagai pekerjaan yang terikat oleh bel tanda masuk dan keluar, orang-orang telah salah memahami esensinya. Seorang dosen, dalam makna sesungguhnya, hidup dalam dunia ide, dalam pencarian akan kebenaran, dan dalam upaya tanpa henti membagikan cahaya pengetahuan kepada generasi yang akan datang. Dedikasinya tak bisa dihitung dalam jam kerja, tetapi dalam sejauh mana ia mampu mencerahkan pemikiran orang lain dan meninggalkan jejak intelektual yang abadi.
Seorang dosen yang bertanggung jawab akan menghabiskan malamnya dengan menulis riset, membaca materi baru, dan menyusun bahan ajar. Saat kebanyakan orang beristirahat, dosen masih berkutat di depan laptop, merevisi artikel ilmiah atau menelaah proposal mahasiswa. Pagi-pagi buta, mereka kembali berkutat dengan buku, mempersiapkan materi kuliah, atau menyelesaikan tulisan akademik. Akhir pekan pun bukan waktu bersantai, melainkan kesempatan untuk memeriksa tugas mahasiswa, menyusun laporan penelitian, atau menghadiri seminar keilmuan. Jam kerja seorang dosen, pada hakikatnya, adalah 24 jam dalam tujuh hari.
Meskipun kenyataan ini dapat dengan mudah dipahami oleh siapa pun yang bersinggungan dengan dunia akademik, birokrasi kita tampaknya enggan mengakui sifat unik profesi ini. Masih ada anggapan bahwa dosen hanya bekerja selama jam kantor. Pikiran semacam itu adalah cara berpikir birokratis yang kaku dan tak relevan dengan sifat kerja akademik. Akibatnya, evaluasi kinerja dosen lebih banyak berfokus pada presensi fisik daripada pada produktivitas akademik yang sesungguhnya.
Dalam realitas akademik, cara yang lebih tepat menilai kinerja dosen adalah melalui Beban Kinerja Dosen (BKD), bukan sekadar mencatat kehadiran mereka di kantor. BKD mengukur tanggung jawab dosen berdasarkan jumlah SKS yang diajarkan, jumlah penelitian yang dipublikasikan, keterlibatan dalam pengabdian masyarakat, serta bimbingan terhadap mahasiswa. Semua indikator ini lebih relevan dalam menilai kinerja seorang akademisi dibandingkan dengan sekadar mencatat apakah mereka datang ke kampus pada pukul tujuh pagi dan pulang pada pukul empat sore.
Namun, alih-alih memperbaiki sistem evaluasi agar lebih sesuai dengan realitas profesi dosen, pemerintah justru menunjukkan ketidakpedulian yang lebih dalam. Teranyar, tunjangan kinerja dosen periode 2020-2024 tak kunjung dicairkan oleh pemerintah. Ini bukan hanya soal hak finansial, tetapi juga soal penghargaan terhadap intelektual yang telah mengabdikan hidupnya untuk pendidikan; mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar kita.
Bukankah di negara yang menginginkan kemajuan dalam pendidikan, seharusnya penghargaan terhadap pendidik menjadi prioritas? Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Tunjangan kinerja dosen (tukin) yang semestinya menjadi bentuk apresiasi atas kerja keras mereka malah diabaikan. Pemerintah seolah lupa bahwa kebijakan yang tak menghargai pendidik akan berdampak langsung pada kualitas pendidikan itu sendiri.
Kebijakan yang menunda atau bahkan mengabaikan hak dosen mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap peran penting mereka dalam membangun peradaban. Dosen bukan hanya pengajar di ruang kelas, tetapi juga penggerak ilmu pengetahuan, inovasi, dan pemikiran kritis dalam masyarakat. Mengabaikan kesejahteraan mereka berarti menempatkan masa depan pendidikan dalam ketidakpastian.
Reformasi dalam sistem evaluasi kinerja dosen bukan hanya soal teknis administrasi, tetapi juga tentang pengakuan lebih luas terhadap peran intelektualnya dalam masyarakat. Birokrasi yang kaku hanya akan membebani dosen dengan aturan-aturan yang tak relevan, menghambat produktivitas akademik, dan akhirnya menurunkan kualitas pendidikan tinggi itu sendiri.
Pendidikan tinggi yang maju tak dapat dibangun di atas kebijakan yang memperlakukan dosen layaknya pegawai kantoran biasa. Jika Indonesia ingin memiliki universitas yang berdaya saing global, maka sistem pendidikan tinggi kita harus fleksibel dan memahami realitas kerja akademik dosen. Tunjangan kinerja bukanlah sekadar angka dalam laporan keuangan negara, melainkan bentuk penghargaan nyata terhadap mereka yang telah mendedikasikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan.
Tanpa penghargaan yang layak bagi dosen, kita hanya akan menghasilkan sistem pendidikan yang stagnan—sebuah sistem yang lebih peduli pada aspek administratif daripada pada kualitas intelektual. Jika kita ingin menghindari hal itu, maka sudah seharusnya pemerintah tak hanya berbicara tentang pentingnya pendidikan, tetapi juga menunjukkan komitmen nyata dalam mendukung mereka yang berjuang di dalamnya.