Muliadi Saleh
Agama | 2025-08-02 17:15:56

Menarik apa yang dialami oleh Seorang Profesor Saat Melakukan Wisata Religi.
Adalah Prof. Sudirman Numba, seorang akademisi ternama dan rendah hati, yang suatu pagi memulai perjalanannya bukan ke ruang seminar atau forum ilmiah, melainkan ke arah yang lebih hening—ke sebuah tapal spiritual yang disebut orang sebagai "wisata religi."
Namun siapa sangka, di tengah langkahnya menyusuri jejak-jejak suci itu, ia justru mengalami sesuatu yang tak biasa—unik dan penuh makna. Sang Professor menceritakan dengan penuh semangat :
Pagi itu, langit belum sepenuhnya jernih dari kantuk. Saya meninggalkan hotel dengan hati ringan, tak sadar satu hal penting tertinggal: dompet. Mungkin karena terlalu semangat menjemput hari, atau bisa jadi memang sedang diuji—bukan oleh hal besar, tapi oleh secangkir kopi dan sepotong keikhlasan.
Rombongan kamin singgah di Pasar Wonomulyo. Teman-teman turun dan larut dalam riuhnya pasar, sementara saya memilih duduk di sebuah warung sederhana. Tak ada yang istimewa di tempat itu, kecuali aroma kopi dan bakso yang menggoda.
Dengan iseng saya memesan, “Mbak, kopi itam saya sebut saja kopi Palestino.”
Ia terdiam sebentar, lalu saya luruskan, “Kopi hitam tanpa gula, Mbak.”
Ia pun mengangguk. Tapi sebelum air panas tersiram, saya teringat satu hal—dompet.
Spontan saya berseru, “Mbak, jangan dibuat dulu... saya lupa bawa dompet!”
Tapi tanpa ragu ia tersenyum, “Gak apa-apa, Pak. Cuma lima ribu, toh.”
Ucapannya seperti angin lembut yang menerobos celah jiwa.
Tak ada kecurigaan, tak ada keberatan. Hanya ketulusan, yang barangkali sedang langka di dunia yang ramai ini.
Beberapa saat kemudian, teman saya datang. Ia hendak meminta sopir bus mengantar ke belakang pasar, tempat ibu-ibu rombongan kami terlampau jauh berjalan. Saya menceritakan perihal kopi dan dompet yang tertinggal. Ia pun tersenyum dan berkata, “Nikmati saja, Kanda. Nanti kami jemput kalau mau ke Masjid Imam Lapeo.”
Kopi pun jadi. Saya merasa perlu menenangkan hati mbaknya, “Tenang saja ya Mbak, teman saya yang akan bayar.” Sambil kembali meraba-raba saku, memastikan bahwa saya benar-benar tidak sedang mengada-ada.
Tak lama, teman saya datang dengan selembar lima puluh ribuan. Mbaknya sempat bimbang, “Lima puluh ribu untuk kopi lima ribu?”
Tapi saya hanya berkata, “Tak usah repot. Kembalian seikhlasnya saja. Kita saling mengikhlaskan.”
Kami pun melanjutkan perjalanan ke Masjid Imam Lapeo. Di sana, para ibu yang sebagian sudah berpindah fokus dari dunia ke akhirat, berjalan tenang menuju tempat wudhu. Saya ikut serta, lalu salat dua rakaat tahiyatul masjid.
Saat hendak berziarah ke makam Imam Lapeo, seorang buruh bangunan yang sedang bekerja memanggil, “Bapak mau ziarah?”
“Iya,” jawab kami.
Tanpa ragu, ia meninggalkan pekerjaannya dan mengambilkan cerek berisi air wudhu untuk kami. Tanpa diminta, tanpa imbalan, tanpa basa-basi. Setelah menyerahkan, ia kembali ke pekerjaannya. Cukup berkata, “Jangan lupa buka sendal saat masuk makam, Pak.”
Kami masuk, dipimpin seorang yang dituakan, membaca surah, menyambungkan pahala untuk almarhum KH. Muhammad Tahir, Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim AS, dan seluruh syuhada. Semua dilakukan dengan tenang, khidmat, dan ikhlas.
Sampai akhirnya, saat akan keluar dari masjid, langkah saya mendekati kotak amal. Entah kenapa, tangan saya kembali meraba kantong depan celana jeans. Dan kali ini terasa ada sesuatu.
Saya masukkan tangan saya ke dalam. Ada uang. Beberapa lembar sepuluh ribuan. Bahkan ada warna lain. Saya tak sempat memilah.
Langsung saya gulung dan masukkan ke kotak amal, tanpa membukanya.
Saya menoleh ke teman yang tadi membayar kopi. “Aneh ya, kok tadi saya harus minta dibayarkan kopi padahal uangnya ada di kantong saya.”
Tapi saya tahu betul, waktu itu saya benar-benar yakin tak punya uang.
Maka saya menyimpulkan,
“Untuk minum kopi saya tak punya uang, tapi untuk sedekah Allah menitipkan uang lewat kantong saya.”
Itu bukan tentang uang lima ribu atau sedekah sepuluh ribu. Tapi tentang ujian kecil yang mengajarkan makna besar: keikhlasan.
Mbak penjual kopi, teman yang membayar, buruh bangunan, bahkan diri saya sendiri—semua seperti dipertemukan dalam satu simpul makna: hidup bisa ringan jika tidak selalu dihitung-hitung.
Kadang, saat kita merasa kekurangan, sejatinya kita sedang diajak menyaksikan bahwa rezeki bisa datang tak terduga. Bahwa manusia bisa saling bantu tanpa pamrih. Bahwa keikhlasan itu ada, bahkan di warung kecil di sudut pasar, atau di tangan kasar buruh yang tanpa banyak kata.
Semoga kita selalu ingat, bahwa di balik setiap kesulitan, ada pintu kemudahan. Dan kadang, pintu itu terbuka dengan secangkir kopi tanpa gula—yang diseduh dengan cinta, dibayar dengan tulus, dan diakhiri dengan sedekah yang entah bagaimana... tiba-tiba ada.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.