alif firdaus zamzam
Politik | 2025-08-01 18:58:34
Beban Pajak, Ancaman Kejatuhan, dan Jejak Sejarah yang Memeringati

Narasi tentang efisiensi dan optimalisasi pendapatan negara terus-menerus digaungkan. Namun, di tengah gempuran kenaikan berbagai jenis pajak yang mencekik rakyat, ada bayang-bayang kelam yang tak bisa diabaikan: pernyataan kontroversial Presiden terpilih Prabowo Subianto pada 2018 silam tentang "Indonesia bisa bubar 2030". Pernyataan itu, yang dulu dianggap hiperbolis, kini terasa kian relevan dan meresahkan manakala kita melihat bagaimana kebijakan fiskal terus-mbebani rakyat, sekaligus menguji daya tahan sosial ekonomi bangsa. Apakah kebijakan pajak yang agresif ini justru sedang menulis naskah bagi skenario terburuk itu?
Pajak dan Persoalanya
Pemerintahan seringkali berargumen bahwa kebijakan ini krusial untuk menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), memperluas basis pendapatan, dan memastikan keberlanjutan program-program strategis, termasuk subsidi, perlindungan sosial, hingga pembiayaan program unggulan seperti makan siang gratis. Tujuannya mulia: menciptakan kemandirian fiskal, mengurangi ketergantungan utang, dan membiayai ambisi pembangunan yang besar. Namun, di balik jargon mulia itu, kita menyaksikan implementasi yang kian meresahkan: efisiensi dicapai dengan menggerus daya beli dan kepercayaan rakyat. Sebuah strategi yang, jika ditelaah lebih jauh, justru berpotensi menjadi bumerang bagi stabilitas dan legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Sejarah dan filsafat politik telah lama memberi peringatan keras. Niccolò Machiavelli, sang realis politik dari Florence, dalam karyanya Il Principe, pernah menasihati penguasa: untuk melanggengkan kekuasaan, silakan saja membersihkan pengaruh rezim lama demi stabilitas, bahkan dengan tangan besi sekalipun. Namun, ada satu garis merah yang pantang dilanggar: jangan pernah main-main dengan harta rakyat, apalagi dengan pajak (Machiavelli, Il Principe, Bab 17). Rakyat, menurutnya, mungkin bisa memaafkan pembunuhan ayah, tetapi jarang melupakan perampasan harta. Ini adalah kebijaksanaan kuno yang relevan hingga hari ini: ketika kantong rakyat terus dikuras, bibit-bibit kebencian dan ketidakpuasan akan mulai tumbuh subur. “Seorang pangeran harus sangat berhati-hati agar tidak membuat dirinya dibenci terutama dengan merampas harta benda dan kehormatan rakyatnya.” (Niccolò Machiavelli, Il Principe)
Efisiensi Semu
Narasi pemerintah tentang "efisiensi" dan "optimalisasi" seringkali terdengar di menara gading. Di mata masyarakat, efisiensi ini terasa semu. Di satu sisi, beban pajak yang kian mencekik, dari PPN yang diperluas hingga pajak-pajak lain yang terus bermunculan. Di sisi lain, pertanyaan besar tentang efektivitas belanja pemerintah, pemborosan dalam mega proyek yang memakan anggaran kolosal, hingga dugaan korupsi yang terus menjadi berita, tak kunjung terjawab tuntas. Kasus-kasus seperti pemborosan anggaran proyek tertentu atau temuan BPK tentang inefisiensi belanja negara seringkali muncul ke permukaan, menambah luka pada rasa keadilan publik. Ini diperparah dengan dugaan anggaran jumbo yang dialokasikan untuk program-program baru yang belum jelas efektivitasnya, sementara pundi-pundi negara diisi dari kantong rakyat yang semakin menipis.
Bagaimana mungkin rakyat bisa menerima narasi "efisiensi" ini jika mereka merasa dikorbankan tanpa melihat ada pembenahan fundamental dalam tata kelola keuangan negara? Ketika pemerintah getol memungut dari rakyat jelata, namun terkesan lamban atau bahkan abai dalam memberantas kebocoran anggaran dari praktik korupsi di lingkar kekuasaan, maka kenaikan pajak bukan lagi soal gotong royong. Ini adalah pemaksaan yang mengikis kepercayaan dan memicu sinisme. Ini bukan hanya beban ekonomi, tapi juga beban psikologis dan sosial yang berpotensi memecah belah solidaritas bangsa. Apalagi, janji-janji kesejahteraan yang dikemas dalam program-program ambisius pemerintahan baru, jika dibiayai dengan membebani rakyat, justru bisa menjadi kontraproduktif dan semakin mendekatkan kita pada prediksi suram "Indonesia bubar 2030" yang pernah dilontarkan.
Jejak Sejarah Kejatuhan: Pelajaran Pahit dari Ibnu Khaldun untuk Mencegah Skenario 2030
Pemikiran Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan sosiolog Muslim abad ke-14, memberikan peringatan yang lebih mendalam, bahkan profetik. Dalam mahakaryanya, Muqaddimah, ia menguraikan sebuah siklus alami kebangkitan dan kejatuhan peradaban atau pemerintahan. Salah satu faktor krusial dalam fase kemunduran suatu negara, menurut Khaldun, adalah kebijakan pajak yang eksesif dan opresif (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Bab 3, "On the Growth of the State and its Taxes").
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa pada fase awal negara, pajak cenderung rendah. Ini mendorong aktivitas ekonomi, produksi, inovasi, dan kemakmuran. Negara pun mendapat pemasukan yang cukup dari basis pajak yang luas karena ekonomi bergairah. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika penguasa mulai boros, ambisius, atau menghadapi tekanan keuangan yang besar (seringkali akibat perang atau proyek besar yang tidak efisien), mereka cenderung menaikkan pajak. Awalnya, ini mungkin berhasil meningkatkan pendapatan. Akan tetapi, jika terus-menerus dilakukan, pajak yang tinggi akan mencekik gairah ekonomi. Petani kehilangan semangat bercocok tanam karena hasilnya habis untuk pajak, pedagang enggan berdagang karena keuntungan tergerus, dan industriawan enggan berinvestasi karena tingginya biaya dan ketidakpastian.
Akibatnya, produksi menurun, investasi lesu, dan akhirnya, basis pajak menyusut drastis. Negara kemudian terjerumus dalam defisit yang lebih parah, yang pada gilirannya mendorong kenaikan pajak lebih lanjut dalam upaya putus asa menambal kebocoran, menciptakan lingkaran setan yang mematikan. Puncaknya, negara akan runtuh karena kehilangan fondasi ekonomi, legitimasi rakyat, dan daya dukung sosial.
Apakah skenario ini yang sedang dipertaruhkan oleh pemerintahan baru? Kenaikan PPN menjadi 12% dan berbagai pungutan lainnya, tanpa disertai peningkatan kualitas layanan publik yang signifikan, tanpa pembenahan fundamental pada birokrasi, dan tanpa penegakan hukum yang adil terhadap pelaku korupsi yang menggerogoti kas negara, dapat mengantar kita ke fase kemunduran yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun. Rakyat akan kehilangan motivasi untuk berproduksi, berinvestasi, dan berpartisipasi dalam ekonomi formal, beralih ke sektor informal, atau bahkan memutuskan untuk mencari penghidupan di negeri lain. Program-program ambisius yang dijanjikan, jika hanya ditopang oleh pajak yang memiskinkan, akan kehilangan roh dan daya tahannya, dan pada akhirnya, bisa jadi mendekatkan kita pada titik kritis yang mengkhawatirkan.
Menjaga Stabilitas, Bukan Memancing Krisis
Pemerintahan yang bijak seharusnya memahami bahwa stabilitas bukan hanya tentang membersihkan pengaruh lama, membangun infrastruktur fisik megah, atau mengklaim pertumbuhan ekonomi di atas kertas, melainkan juga tentang menjaga rasa aman, kepercayaan, dan keadilan di hati rakyat. Dan, sebagaimana diingatkan Machiavelli, tidak ada yang lebih cepat menghancurkan kepercayaan selain main-main dengan harta benda dan kehormatan mereka. Ini adalah pesan penting bagi Presiden Prabowo Subianto dan kabinetnya, terutama mengingat pernyataan kontroversialnya di masa lalu.
Ketika pemerintah menetapkan "efisiensi" melalui cara-cara yang membebani rakyat secara tak proporsional, mereka tidak sedang membangun fondasi stabilitas yang kokoh. Sebaliknya, mereka tengah menumpuk ketidakpuasan, kegelisahan, dan sinisme, yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi krisis sosial atau politik yang lebih besar. Pelajaran dari Machiavelli dan Ibnu Khaldun sangat jelas, pajak bukanlah sekadar instrumen pengumpul dana, melainkan juga cerminan paling konkret dari kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Ketika kontrak itu terasa berat sebelah, ketika kewajiban rakyat terus bertambah tanpa diimbangi perbaikan kualitas hidup, efisiensi belanja pemerintah, dan jaminan keadilan yang merata, maka legitimasi kekuasaan akan terkikis, dan siklus kehancuran mungkin mulai bergulir.
Efisiensi sejati bukan hanya tentang angka-angka di atas kertas atau target penerimaan. Ia adalah tentang bagaimana setiap kebijakan, termasuk pajak, memengaruhi kehidupan nyata rakyat, mendorong produktivitas, dan menumbuhkan rasa keadilan. Jika efisiensi berujung pada defisiensi kesejahteraan dan kepercayaan publik, maka itu bukanlah strategi yang berkelanjutan. Ini adalah jalan menuju jurang, dan bisa jadi, mengantarkan kita lebih dekat ke skenario "Indonesia bubar 2030" yang seharusnya kita cegah bersama. Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang prioritas dan pendekatannya, sebelum sejarah memberikan pelajaran yang jauh lebih pahit. Tantangan besar menanti di era baru, di mana kebijakan fiskal yang memihak rakyat akan menjadi kunci utama keberhasilan dan stabilitas jangka panjang.
Referensi:
Machiavelli, N. (Il Principe). (Banyak edisi dan terjemahan tersedia, kutipan umum merujuk pada Bab 17).
Ibnu Khaldun. (Muqaddimah). (Ku...