
BERKAITAN dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) 2025, Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Energy Academy Indonesia (Ecadin) menggelar Indonesia Green Connect (IGC) 2025. Ini menjadi ajang dialog multipihak antara akademisi, pelaku industri, regulator dan mitra internasional untuk membahas berbagai isu mendesak, salah satunya persoalan sampah dan pentingnya pengembangan teknologi hijau.
Direktur Kawasan Sains dan Teknologi (DKST) ITB, Ir. R. Sugeng Joko Sarwono, Kamis (7/8) menerangkan IGC merupakan forum strategis yang mempertemukan para pemangku kepentingan untuk mendiskusikan kolaborasi teknologi hijau di bidang masing-masing. Teknologi yang hijau itu mewarnai kegiatan di tempat masing-masing, tapi sekaligus juga mewarnai kegiatan secara kolaboratif di antara stakeholder. Acara ini merupakan kolaborasi antara ITB dan Ecadin, yang merepresentasikan kemitraan antara dunia akademik dan entitas bisnis.
“DKST ITB memang memiliki mandat sebagai jembatan antara akademi dan industri, sehingga kegiatan seperti IGC sangat sesuai dengan tugas dan fungsi mereka. Bahkan, acara ini menjadi kelanjutan dari program tahunan DKST, yang secara khusus mempertemukan akademisi, industri dan regulator,” tuturnya.
Menurut Sugeng IGC 2025 menjadi side event dari kegiatan Kompetisi Sains dan Teknologi Indonesia yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (KSTI). Dalam KSTI, para peneliti dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan hasil-hasil produk teknologi yang diharapkan mampu menjadi basis pengembangan ekonomi nasional berbasis sains. Bahkan Presiden Prabowo Subianto juga turut memberikan arahan dalam pembukaan kegiatan KSTI, menekankan pentingnya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi berbasis teknologi.
“Salah satu isu krusial yang mengemuka dalam IGC 2025 adalah permasalahan sampah, baik dari rumah tangga maupun industri. Persoalan ini menjadi perhatian utama dari kepala daerah mulai dari Wali Kota hingga gubernur. Namun, proses penanganannya masih jauh dari ideal. Ia menyoroti pentingnya perubahan perilaku masyarakat dalam memilah sampah sebagai langkah awal untuk mempermudah pengolahan,” jelasnya.
Sugeng menambahkan, jika ingin mengolah sampah, berarti harus dipilah dulu. Kalau tidak dipilah, bisa mempersempit cara untuk mengolah. Tapi kalau sudah dipilah, memperlebar cara untuk mengolah. Saat ini di Indonesia sudah memiliki banyak teknologi pengolahan sapah, mulai dari insinerator, pengolahan dengan bakteri, cacing, hingga proses kimiawi.
“Namun, tantangannya adalah minimnya eksposur terhadap teknologi-teknologi tersebut dibandingkan dengan eksposur terhadap sampah yang muncul setiap hari. Masalah lainnya keterbatasan lahan untuk pembangunan insinerator, terutama di area perkotaan yang padat penduduk,” paparnya.
Sugeng mencontohkan keberhasilan kota seperti Copenhagen, Denmark, yang mampu membangun insinerator besar di pinggir kota yang sekaligus menjadi tempat wisata. Model seperti ini harus mulai diadaptasi di Indonesia.
“Jadi kita sebenarnya sudah punya banyak teknologi, yang utama sekarang adalah literasi dan kolaborasi. Istilah green technology merujuk pada teknologi bersih dan sehat, yang bersahabat dengan lingkungan. Green biasanya identik dengan tanaman, sedangkan blue terkait dengan air. Keduanya menjadi pilar penting dalam menciptakan ekosistem berkelanjutan,” tandasnya.
Sementara itu, Founder & CTO Ecadin, Syarif Riyadi menegaskan bahwa visi mereka berangkat dari kekuatan teknologi. “Kita bisa meng-influence pemerintah dan stakeholder lain untuk memformulasi peraturan yang berbasis teknologi,” ujarnya.
Syarif menambahkan, negara-negara maju memulai pembangunan mereka dari kompetensi teknologi yang kuat, lalu merumuskan regulasi, hingga menghasilkan ekonomi yang inklusif dan ramah lingkungan. Dengan mengusung tema green, IGC ingin mendorong teknologi yang bersih dan mendukung target Net Zero Emission Indonesia pada 2060. “Kita tidak bisa sendiri, harus ada bridging antara riset, industri dan implementasi sampai ke masyarakat,” sambungnya. (H-2)