Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sebesar 5,4 persen pada tahun depan, dinilai cukup ambisus di tengah tantangan ekonomi global.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, menilai target tersebut memang konservatif karena berada di bawah 8 persen atau target dalam RPJMN di 6,3 persen.
“Walaupun dia konservatif, kami memandang itu masih tidak realistis di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi global yang tinggi,” kata Deni dalam media briefing CSIS di Pakarti Centre Building, Jakarta Pusat pada Senin (18/8).
Selain target pertumbuhan ekonomi yang dinilai konservatif, tingkat suku bunga SBN 10 tahun yang cukup tinggi di 6,9 persen juga dinilai konservatif. Deni menyebut langkah ini untuk mengaktivasi kebutuhan utang baru di tengah persaingan global untuk mendapatkan pendanaan.
“Kita ketahui bahwa India, US, pasca tarif, ini juga akan membutuhkan pendanaan yang besar. Akibat inflasi yang tinggi di US, setidaknya suku bunga di tingkat global itu pasti akan tinggi,” ujarnya.
Dia juga menyoroti soal inflasi. Menurut dia, meski inflasi rendah, hal tersebut masih harus dibayar dengan subsidi energi yang lebih besar.
“Yang pertama, subsidi energinya masih besar, yang kedua, dia bisa menciptakan, itu adalah indikasi dari adanya pelemahan permintaan swasta akibat adanya suku bunga yang tinggi atau kita sebutnya crowding out,” kata Deni.
Menambahkan terkait pertumbuhan ekonomi, Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, juga melihat target pertumbuhan ekonomi tahun depan tersebut masih akan mengalami beberapa tantangan. Salah satunya adalah tren menurunnya harga komoditas ekspor unggulan Indonesia seperti CPO, batu bara, nikel dan natural gas.
“Ini mencapai sekitar 40 persen dari ekspor di Indonesia dan keempat-keempatnya sudah mengalami pelemahan harga yang sangat cukup dalam dibandingkan dengan dua atau tiga tahun lalu dan ini akan terus berlangsung,” kata Yose.
Selain tren penurunan harga, Yose juga melihat pelemahan juga terjadi terhadap permintaan komoditas ekspor Indonesia. Hal inilah yang disebut Yose tak hanya berdampak pada perekonomian namun juga berdampak pada hubungan pertumbuhan ekonomi dengan harga komoditas.
“Kalau harga komoditas naik, pertumbuhan ekonomi kita juga naik tetapi juga kebalikannya, kalau harga komoditas turun, kemungkinan pertumbuhan ekonomi kita juga akan turun. Jadi kembali lagi akan sangat sulit, akan menjadi sulit kita mencapai target 5,4 persen,” ujarnya.