Ketua DPR RI Puan Maharani berpesan agar masyarakat memakai kritik sebagai sebuah sarana menyadarkan para penguasa. Ia meminta agar kritik tidak digunakan untuk merusak persatuan bangsa.
“Kritik dapat keras dalam substansi dan menentang keras kebijakan, akan tetapi kritik bukan alat untuk memicu kekerasan, kebencian, menghancurkan etika dan moral masyarakat, apalagi menghancurkan kemanusiaan,” ucapnya di dalam pidato di sidang tahunan MPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (15/8).
“Gunakanlah ruang kritik itu sebagai sarana untuk menyadarkan penguasa, memperbaiki kebijakan, menuntut tanggung jawab, dan mendorong kemajuan bagi seluruh anak bangsa,” tambah dia.
Ia pun menyinggung soal banyaknya bentuk kritikan baru yang senantiasa mengikuti perubahan zaman. Menurutnya, kritik yang hadir di ruang digital menyesuaikan dengan gaya generasi saat ini.
“Kini, kritik rakyat hadir dalam berbagai bentuk yang kreatif dan memanfaatkan kemajuan teknologi, khususnya media sosial, sebagai corong suara publik,” ucap Puan.
“Ungkapan tersebut dapat berupa kalimat singkat seperti ‘#Kaburajadulu’, sindiran tajam ‘Indonesia Gelap’, lelucon politik ‘negara Konoha’, hingga simbol-simbol baru seperti bendera One Piece’, dan banyak lagi yang menyebar luas di ruang digital,” tambah dia.
Puan pun meminta pemerintah untuk menanggapinya dengan bijaksana. Menurutnya, semua kritikan harus didengar, direspons dengan hati jernih dan pikiran yang terbuka.
“Bagi para pemegang kekuasaan, semua suara rakyat yang kita dengar bukanlah sekadar kata atau gambar. Di balik setiap kata ada pesan. Di balik setiap pesan ada keresahan. Dan di balik keresahan itu ada harapan,” ucap Puan.
“Karena itu, yang dituntut dari kita semua adalah kebijaksanaan. Kebijaksanaan untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga memahami. Kebijaksanaan untuk tidak hanya menanggapi, tetapi merespons dengan hati yang jernih dan pikiran yang terbuka,” tambahnya.