
Perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China menunjukkan tanda-tanda positif, dengan kesepakatan di sektor perdagangan. Hal ini membuat harga Bitcoin meningkat di atas USD 100.000.
Berdasarkan CoinMarketCap hari ini, Rabu (12/6) pukul 12.40 WIB, harga Bitcoin mencapai USD 107.753, naik 2,81 persen dibandingkan hari yang sama pekan lalu. Namun demikian, harganya turun 1,64 persen dibandingkan Rabu (11/6) USD 110.000. Sebelumnya, level tertinggi Bitcoin menyentuh USD 111.000 pada Mei 2025.
Vice President Marketing Indodax, Antony Kusuma, mengatakan kenaikan harga Bitcoin juga disebabkan oleh investor global yang merespons potensi kesepakatan dagang baru. Bahkan di dalam negeri, volume transaksi Bitcoin di Indodax juga menunjukkan peningkatan
"Pada 10 Juni 2025, total volume transaksi di Indodax tercatat sebesar Rp 707,8 miliar, mencerminkan kenaikan aktivitas perdagangan dan minat yang meningkat dari para pelaku pasar domestik," kata Antony dalam riset Indodax, Kamis (12/6).
Dia juga menjelaskan, kenaikan ini sebagai titik balik penting dalam narasi Bitcoin secara global. Menurutnya, Bitcoin kini tak lagi berada di bagian terpinggirkan dari sistem keuangan global, aset digital tersebut sudah menjadi bagian dari percakapan inti antar pemerintah, pelaku industri, dan lembaga-lembaga keuangan besar.
"Lonjakan harga ke level USD 110.000 mencerminkan bahwa pasar melihat Bitcoin bukan hanya sebagai aset alternatif, tetapi sebagai komponen strategis dalam bagian ekonomi digital yang baru,” kata Antony.
Di market domestik, lonjakan harga ini juga berpengaruh terhadap kenaikan volume. Hal ini ditunjukkan dari antusiasme investor ritel Indonesia kembali menguat seiring pergerakan harga BTC yang positif.
"Ini sinyal penting bahwa market lokal turut berkontribusi terhadap dinamika pasar global,” jelasnya.
Sementara itu, berbagai indikator makroekonomi Amerika Serikat minggu ini juga menjadi perhatian pelaku pasar. Rilis data inflasi (CPI) yang dijadwalkan pada 11 Juni dan prediksi angka pengangguran pada 12 Juni diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap arah kebijakan suku bunga The Fed.
Menurutnya, kombinasi antara tekanan inflasi, gejolak geopolitik, dan ketidakpastian terhadap arah suku bunga global telah mendorong investor untuk mencari aset yang tidak terikat pada keputusan bank sentral dan pemerintah.
"Bitcoin menjadi relevan karena ia bebas dari intervensi kebijakan moneter konvensional. Di saat aset lain tunduk pada stimulus atau pengetatan, Bitcoin beroperasi pada prinsip yang tetap: transparansi, suplai terbatas, dan konsensus global," jelas Antony.
Meski demikian, Antony mengingatkan bahwa volatilitas tetap menjadi bagian dari dinamika kripto yang harus disikapi dengan pendekatan manajemen risiko yang matang.
"Harga bisa naik dan turun secara agresif, tetapi arah jangka panjang Bitcoin tetap menunjuk pada penguatan fundamental. Yang penting adalah bagaimana investor memposisikan diri secara bijak di tengah siklus pasar yang kompleks,” imbuh Antony.
***
Disclaimer: Keputusan investasi sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan dan keputusan pembaca. Berita ini bukan merupakan ajakan untuk membeli, menahan, atau menjual suatu produk investasi tertentu.