REPUBLIKA.CO.ID, Bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat ke Hiroshima pada 6 Agustus 80 tahun lalu menimbulkan penderitaan mendalam terhadap warga Jepang. Kendati demikian, saat kabar itu tiba di Tanah Air, ia membawa kabar gembira.
Pada 6 Agustus 1945 pukul 08.15, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, menyebabkan lebih 70 ribu orang dari kota yang berpenduduk 350 ribu jiwa tewas seketika. Tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan ke Nagasaki.
Sepertiga kota itu hancur dan tidak kurang 75 ribu orang tewas. Kaisar Hirohito menganggap Jepang sudah tidak mungkin lagi meneruskan peperangan dan kemudian memaklumkan kekalahannya –menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Jurnalis senior Republika, Alwi Shahab (semoga Allah merahmatinya) mencatat, menyerahnya Jepang hampir tidak diketahui rakyat di Indonesia kala itu. Pada masa pendudukan Jepang, rakyat buta terhadap berita-berita luar negeri. Semua radio disegel. Mereka yang ketahuan mendengarkan siaran radio musuh sangat besar risikonya: ditangkap Kempetai (polisi militer Jepang) dan dituduh mata-mata musuh. Tuduhan yang bisa membawa kematian orang bersangkutan.
Bahwa Jepang adalah korban senjata brutal yang mematikan itu harus dipahami tak menimbulkan empati di Tanah Air. Pasalnya yang dilakukan penjajah Jepang kala itu tak kurang-kurang brutalnya.
Ini bisa ditengok dari catatan dari seorang pimpinan Barisan Pelopor (Korps Pionir) tentang situasi akhir 1944. ”Setiap hari tampak hilir mudik mayat-mayat berjalan (tinggal kulit pembungkus tulang). Tubuh mayit berjalan itu penuh kutu di bajunya yang compang-camping. Baju yang terbuat dari bahan karung goni, tali rami, atau karet. Mayit-mayit manusia itu ada di mana-mana, di lubang perlindungan, di kuburan Cina, juga di tempat-tempat pembuangan sampah. Tergolek lemah tanpa daya.”
Saat itu dijalankan program romusha, alias pengiriman puluhan ribu pemuda dari Jawa untuk kerja paksa di luar Jawa yang dimulai pada 1943 oleh penguasa Jepang. Seusai perang, hanya sebagian kecil pemuda itu yang selamat kembali ke kampung halamannya.
Sejumlah besar telah hilang selama kerja paksa itu dalam keadaan sangat kurus kering. Ada juga praktek ianfu. Gadis-gadis sejumlah negara, termasuk Indonesia, dijadikan perbudakan seks oleh tentara pendudukan Jepang.
Walhasil, ketika Jepang bertekuk lutut, ia disambut tempik sorak di Tanah Air. Salah satu yang pertama mendengar kekalahan itu antara lain Sutan Syahrir. Ia dikenal sebagai tokoh anti-Jepang yang bekerja di bawah tanah dan selalu mendengarkan siaran radio gelap.
Pemuda Minang bertubuh kecil ini kemudian menyebarkan berita kekalahan Jepang itu kepada para pemuda pejuang lainnya. Para pemuda pun mendesak Bung Karno agar segera memproklamasikan kemerdekaan, bahkan kemudian menculiknya bersama Bung Hatta dan Ibu Fatmawati ke Rengasdengklok, kota kecamatan di Karawang, Jawa Barat.
Bung Karno rupanya tidak pernah melupakan ‘penghinaan’ Syahrir ini. Dalam biografinya seperti dituturkan pada Cindy Adams, Bung Karno mengatakan, ”Syahrir-lah orang yang menyala-nyalakan api para pemuda. Dia tertawa mengejekku dengan diam-diam dan tidak pernah di hadapanku. Sukarno itu gila… Sukarno kejepang-jepangan… Sukarno pengecut….”