
Umat Kristen akan memperingati Pentakosta pada Minggu (8/6) besok, sebagai bagian dari lima hari raya besar dalam kalender gereja. Di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman, Klitren, Yogyakarta, perayaan ini menjadi ajakan untuk berhenti sejenak dari kesibukan, merenung, dan mengungkapkan rasa syukur atas penyertaan Tuhan.
“Ungkapan syukur itu seperti jeda, berhenti sejenak. Kita menengok ke belakang sebentar, apa yang sudah kita lakukan selama ini, hasilnya seperti apa,” kata Pendeta Seno Adhi Noegroho dari GKJ Gondokusuman.
Pentakosta secara umum dikenal sebagai hari turunnya Roh Kudus kepada para murid. Namun, menurut Pendeta Seno, maknanya lebih luas. Pentakosta juga dimaknai sebagai hari syukur atas panen raya, serta momen lahirnya gereja—saat komunitas Kristen pertama kali terbentuk dan mulai melayani secara kolektif.

Perayaan di GKJ Gondokusuman dilakukan dalam bentuk ibadah reguler pada Minggu pagi, namun disertai persembahan khusus dan gunungan hasil bumi. Tradisi ini dikenal dengan nama unduh-unduh, bentuk syukur atas panen raya.
“Profesi manusia boleh berubah dari agraris menjadi industrial atau urban. Tapi satu hal yang tidak pernah berubah adalah rasa syukur,” tegas Pendeta Seno. “Dan syukur itu butuh jeda—momen berhenti sejenak, untuk menyadari bahwa hidup, pekerjaan, dan perjumpaan dengan sesama adalah berkat.”
Gunungan tersebut dibawa masuk ke dalam gereja, diletakkan di depan mimbar, lalu didoakan sebagai simbol syukur jemaat. Setelah ibadah, hasil persembahan akan dilelang secara terbuka.
“Lelang ini bukan soal siapa yang memberi paling besar, tapi bagaimana warga saling menghargai dan mengapresiasi persembahan. Di situ letak kebersamaannya,” ujar Pendeta Seno.
Saat Murid Yesus Tiba-Tiba Kuasai Bahasa Asing

Salah satu peristiwa paling fenomenal dari Pentakosta menurut Pendeta Seno Adhi Noegroho adalah saat Roh Kudus dicurahkan kepada para murid dan mereka tiba-tiba mampu berbicara dalam berbagai bahasa asing yang tidak mereka kuasai sebelumnya. Hal ini dicatat dalam Kisah Para Rasul pasal 2.
“Mereka waktu itu berkumpul di Yerusalem, datang dari berbagai wilayah. Ketika Roh Kudus dicurahkan, mereka bisa saling memahami dalam bahasa masing-masing,” jelas Pendeta Seno.

Dalam konteks sejarah, hal ini merupakan kejutan besar: para murid, yang berasal dari latar belakang sederhana, mendadak berbicara dalam bahasa bangsa-bangsa lain seperti Frigia, Pamfilia, Kapadokia, Media, hingga Arab. Mereka tidak hanya bisa berbicara, tetapi juga saling memahami, meski sebelumnya tak saling mengerti bahasa masing-masing.
“Inilah yang membuat peristiwa itu disebut spektakuler. Karena tiba-tiba ada pengertian, ada komunikasi lintas bahasa yang tidak biasa,” kata Pendeta Seno.
Peristiwa ini dimaknai sebagai simbol dimulainya misi gereja ke seluruh dunia. Pesan keselamatan yang semula disampaikan dalam lingkup terbatas, kini meluas secara global. Roh Kudus tidak hanya memberi keberanian, tetapi juga kemampuan dan jembatan antarbangsa, antarkultur, dan antarbahasa.