Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan pajak pedagang online yang berjualan melalui e-commerce tidak akan mengganggu kinerja pedagang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan mengatakan pemerintah cukup adil dalam membuat aturan penarikan pajak pedagang online. Dia menyoroti ketentuan hanya pedagang dengan omzet Rp 500 juta yang dikenai pajak.
“So far sih nggak (berdampak pada UMKM), karena yang dibebankan itu kan terhadap mereka yang omzet tahunan itu di atas Rp 500 juta. Kalo yang di bawah itu sih enggak (dikenai pajak e-commerce) ya,” tutur Iqbal di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (4/8).
Menurut dia seharusnya jika pengusaha telah menghasilkan omzet di atas Rp 500 juta selama satu tahun, maka tidak lagi bisa masuk dalam kategori UMKM.
“Dan platform e-commerce juga fungsinya kan sebagai pengumpul pajaknya. Dan itu fair, saya pikir. Di atas Rp 500 juta kan berarti kan bukan usaha mikro, ya usaha kecil dan menengah yang omzetnya di atas itu setahun,” jelasnya.
Aturan mengenai pajak e-commerce tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 Tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut, Penyetor, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Pajak yang dikenakan adalah PPh Pasal 22 dengan tarif sebesar 0,5 persen dari total peredaran bruto yang diterima oleh pedagang dalam negeri, sesuai dengan nilai yang tercantum dalam dokumen tagihan.
Dalam Pasal 3 Ayat 1 disebutkan bahwa pihak yang ditunjuk untuk memungut PPh Pasal 22 adalah penyelenggara perdagangan melalui PMSE atau e-commerce, baik yang berkedudukan di dalam maupun luar negeri, asalkan memenuhi kriteria tertentu.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli mengatakan aturan ini tidak berlaku untuk pelaku usaha mikro dengan omzet tahunan di bawah Rp 500 juta per tahun.