Wafa Tazkiatul Ummah
Agama | 2025-08-04 17:06:50

Angka pernikahan di Indonesia terus menurun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, jumlahnya berkurang 128.000 dibandingkan tahun sebelumnya (Tirta dan Arifin, 2025). Fenomena ini tak bisa lagi hanya dilihat sebagai dampak pandemi. Sebaliknya, penurunan ini memicu perdebatan: apakah ini tanda kemajuan karena anak muda memilih hidup lebih mandiri, atau justru bentuk krisis komitmen yang lebih dalam?
Sebagian orang terutama generasi tua (baby boomers) menganggap ini tanda kemerosotan moral generasi milenial dan generasi Z. Tapi membaca angka tersebut bukan hanya sebagai "krisis nilai" justru menutup banyak hal penting. Kita hanya sedang melihat perubahan cara pandang anak muda terhadap pernikahan. Mereka tak lagi melihat pernikahan sebagai satu-satunya jalan hidup yang harus diikuti. Menikah adalah keputusan besar yang perlu dipertimbangkan, bukan tuntutan sosial.
Banyak anak muda memilih menunda, atau bahkan menolak pernikahan dengan alasan yang cukup masuk akal; ingin stabil secara ekonomi, menyelesaikan pendidikan, menghindari kekerasan dalam rumah tangga, dan menolak sistem keluarga patriarkal. Dalam Kompas.com 19/03/2024 survei Populix pengungkapkan alasan anak muda, khususnya generasi Z menunda menikah adalah ingin fokus pada karir dan hal-hal di luar karir, seperti hobi dan keluarga. Hal ini perlu diapresiasi karena sikap berfikir panjang disaat maraknya kasus perceraian dan pernikahan dini.
Namun, di sisi lain, pernikahan yang sepi tidak selalu mencerminkan kehidupan yang sunyi. Sebaliknya, kebutuhan biologis manusia tetap ada dan akhirnya mencari pelampiasan. Fenomena seperti tinggal bersama tanpa menikah (cohabitation), hubungan tanpa status, hingga praktik hubungan seksual non-komitmen seperti friends with benefits semakin marak di kalangan anak muda. Di sinilah letak masalahnya: institusi pernikahan dilewati, tetapi hubungan intim tetap dijalani tanpa perlindungan hukum, tanggung jawab sosial, maupun nilai etis. Hal tersebut sangat dilarang dalam Islam karena berhubungan badan antara laki-laki dan perempuan hanya boleh dilakukan ketika laki-laki dan perempuan sudah sah menikah.
Seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Isra ayat 32 "Dan janganlah kamu mendekati zina”. Ayat ini menegaskan bahwa bukan hanya perzinahan yang dilarang, tetapi semua bentuk pendekatan yang mengarah pada zina juga dianggap sebagai hal yang buruk. Dengan kata lain, praktik tinggal bersama tanpa akad, atau menjalin hubungan intim tanpa komitmen dan tanggung jawab, bertentangan dengan ajaran keislaman, tanggung jawab moral, serta perlindungan terhadap martabat manusia yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Pernikahan bukan hanya sekadar menyalurkan hasrat, tetapi juga bentuk ibadah dan tanggung jawab. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu (secara finansial dan fisik), maka menikahlah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu baginya adalah perisai.” (HR. Bukhari)
Hadis tersebut menunjukkan keseimbangan: Islam mendorong pernikahan bagi yang mampu baik secara mental, finansial maupun secara spiritual, dan tidak memaksakan bagi yang belum mampu atau siap menikah tapi dianjurkan untuk berpuasa agar bisa menahan syahwat dan menjaga diri dari perbuatan maksiat.
Tetapi kondisi sekarang, banyak orang enggan menikah namun tetap aktif secara seksual tanpa ikatan, sehingga nilai-nilai Islam tidak hanya dilanggar dalam aspek hukum agama, tapi juga dalam ranah sosial. Banyak perempuan mengalami korban seks bebas tanpa komitmen. Mereka menanggung tekanan psikologis, sosial, bahkan medis, sementara laki-laki sering kali bebas dari tanggung jawab. Ini menunjukkan bahwa tanpa ada etika dan komitmen, kebebasan hanya akan menimbulkan ketidakadilan dan masalah baru. Tapi menolak pernikahan pun bukan solusi jika alternatif yang dipilih justru merusak martabat dan keselamatan pribadi. Mungkin yang dibutuhkan adalah perubahan nilai dalam pernikahan bukan penolakan sepenuhnya.
Kita perlu membangun kesadaran bahwa pernikahan bukanlah tujuan hidup semua orang, tapi tetap penting sebagai bentuk kesepakatan sosial yang memberikan perlindungan dan keabsahan terhadap hubungan. Kita juga perlu pendidikan seksual dan emosional yang tidak sekedar mengajarkan “kapan siap untuk menikah”, tetapi juga bagaimana menjalani hubungan yang sehat dan adil, termasuk jika memilih untuk tidak menikah.
Dengan demikian, turunnya angka pernikahan dapat diartikan sebagai tahap peralihan. Masyarakat sedang mencari cara baru untuk menemukan pasangan yang setara. Ini sangat positif, asalkan dibarengi dengan tanggung jawab moral dan sosial. Namun jika tren ini dibarengi tumbuhnya hubungan bebas yang tidak jelas, maka yang hilang bukan hanya lembaga pernikahan, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Islam membawa pernikahan bukan sebagai sumber kekhawatiran, melainkan sebagai bentuk perlindungan yang mengandung cinta dan tanggung jawab. Dalam Islam, pernikahan melindungi individu dari godaan. Dengan menikah, seseorang dapat menjaga diri dari perbuatan yang dilarang oleh agama. Bukan untuk mengurung, tetapi untuk memuliakan dua insan dalam ikatan yang saling menguatkan. Oleh karena itu, arah dakwah dan kebijakan saat ini bukan sekadar mengajak orang menikah, tetapi mendidik agar siap menjalani pernikahan yang sehat, saling menghargai, dan bertumbuh bersama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.