Musisi menghibur pengunjung di salah satu kafe terbuka di Kawasan Wisata Kuliner Kolaka, Sulawesi Tenggara, beberapa waktu lalu.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wulan Intandari, Ferry Bangkit Rizki, Gumanti Awaliyah, Mg151
Yogya dikenal sebagai ‘gudangnya kafe’. Kota ini tak hanya kaya akan destinasi wisata, tetapi juga menjadi surga bagi para pencinta kopi dan penyuka nongkrong.
Namun, di balik semaraknya budaya nongkrong di kafe ada pemilik yang kini dihadapkan dengan aturan pembayaran royalti musik. Aturan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 yang mengatur pemutaran musik di ruang publik untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti kepada pencipta lagu.
Fransisca, pemilik Kedai Laura Yogyakarta, terang-terangan menyatakan tidak setuju aturan ini diterapkan pada pelaku usaha kecil seperti dirinya. Kekhawatirannya bertambah karena adanya kabar tarif royalti bisa mencapai Rp 120 ribu per kursi, yang jika dihitung per bulan bisa sangat membebani.
"Kenapa baru sekarang-sekarang dipermasalahkan. Saya harap musik-musik Indonesia tidak harus membayar royalti apalagi menyasar kafe, UMKM tempat makan seperti kami. Hitung saja Rp 120 ribu per kursi, per hari, per bulan, mau apapun itu, saya tidak setuju," katanya.
"Sekarang pendapatan kafe berapa sih, apalagi di tengah situasi seperti saat ini. Bayar karyawan saja kembang kepis. Mudah-mudahan yang di MK sekarang bisa menghasilkan putusan yang adil dan bijaksana," ucap dia.
Pemilik Spatialty Kitchen & Coffee di Yogyakarta, Rangga, menilai royalti sah-sah saja, selama pengelolaannya adil dan transparan. "Kalau aku sendiri sih setuju (dengan adanya kebijakan bayar royalti). Aku pakai musik di kedai karena memang kedai lain itu memang familiar dengan adanya musik. Jadi kedai kopi temannya musik," ucap Rangga.
Meski setuju dengan konsep royalti, Rangga keberatan jika tarifnya terlalu tinggi dan menyasar semua pelaku usaha tanpa pandang skala bisnis. Demi efisiensi, ia memutuskan untuk menciptakan suasana yang lebih natural, tanpa musik. "Kalau itu diberlakukan dan kami memang harus membayar royalti itu, kami memutuskan lebih baik tidak memasang musik saja," ungkapnya.
Tak Ada Penjelasan...