
Ketika Presiden Trump mengancam tarif 32 persen bagi produk Indonesia, sebagian orang menganggap ini sekadar gaya politik lama, seperti pertarungan pajak Amerika dan China yang sebelumnya memanas di tahun 2025. Tapi bila kita tarik ke atas, ada persoalan yang jauh lebih dalam. Ya, jika melihat Indonesia saat ini seperti sedang berada dalam pusaran sistem keuangan dunia yang tidak sepenuhnya kita pahami, apalagi kendalikan.
Ekonomi dunia bukan berjalan dengan asas suka-suka. Hal ini digerakkan oleh prinsip-prinsip global yang lahir dari sejarah panjang dominasi kekuatan besar. Seperti, sistem Bretton Woods, lembaga seperti IMF dan Bank Dunia, standar perdagangan WTO, hingga kini kekuatan baru seperti BRICS. Semua ini membentuk “aturan main global”—dan sayangnya, dalam publik di Indonesia masih terdapat berbagai kebingungan dalam permainan ekonomi ini.
Jika kita berbicara Prinsip Dasar “Siapa yang Atur Dunia?” Apakah, Sistem keuangan global modern dibangun pasca Perang Dunia II? Dua institusi besar dibentuk. IMF sebagai penjaga kestabilan moneter global, dan Bank Dunia untuk pembangunan ekonomi. Negara-negara, termasuk Indonesia, terikat pada komitmen, transparansi fiskal, disiplin utang, dan keterbukaan pasar.
Namun sistem ini bukan netral. Amerika Serikat memegang hak veto di IMF. Negara-negara berkembang seperti Indonesia berada dalam posisi tunduk—dan ketika surplus perdagangan terjadi, negara besar seperti AS bisa langsung menjadikan kita sasaran tarif, seperti yang terjadi baru-baru ini.

Menarik pada fenomena masuknya Indonesia ke BRICS: Strategi atau Risiko? Indonesia resmi bergabung dengan BRICS. Ini bukan sekadar diplomasi simbolik. BRICS adalah upaya nyata untuk menciptakan sistem finansial multipolar, lewat institusi seperti New Development Bank (NDB) yang tidak bergantung pada dolar AS. Langkah ini strategis, tapi juga mengandung risiko. Dunia kini terbelah, satu sisi G7 dan IMF, sisi lain BRICS dan Global South. Indonesia harus berhitung cermat agar tidak terjebak menjadi pion dalam konflik geopolitik finansial global.

Kemudian datangnya Tarif 32 Persen. Tarif tambahan dari AS bukan awal dari konflik, tapi akibat dari defisit neraca perdagangan AS dan tuduhan proteksionisme Indonesia. Ini bukti bahwa globalisasi bukan arena bebas, melainkan pertarungan posisi tawar-menawar. Ketika AS merasa dirugikan, ia tidak ragu memakai kebijakan balasan. Artinya, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan semata “pasar bebas” sebagai prinsip ekonomi luar negeri. Maka diperlukan kecerdasan strategis, diversifikasi pasar, penguatan industri dalam negeri, dan diplomasi dagang yang agresif.
Dari hal ini, Publik Wajib Tahu Ini Bukan Sekadar Urusan Elite. Selama ini, urusan IMF, tarif ekspor, atau negosiasi BRICS dianggap domain teknokrat. Tapi kenyataannya, kebijakan global ini menyentuh langsung kehidupan rakyat, harga sembako, nilai tukar rupiah, hingga lapangan kerja.
Oleh karena itu, publik Indonesia perlu memahami hal-hal mendasar:
Bahwa sistem keuangan dunia bukan netral, tapi penuh kepentingan.
Bahwa stabilitas ekonomi nasional sangat bergantung pada manuver global.
Dan bahwa kedaulatan ekonomi tak cukup hanya dengan menolak asing, tapi dengan memahami permainannya.
Ke Mana Ekonomi Indonesia Akan Melaju?
Jika kita tak memahami sistem, kita hanya jadi korban perubahan. Tapi jika kita tahu cara mainnya, Indonesia bisa menavigasi masa depan dengan lebih cerdas. Maka bagaimana langkah ke depan? Apakah dengan menguasai diplomasi ekonomi multipihak dengan mainkan peran di ASEAN, BRICS, dan G20 secara seimbang? Atau mendorong pendidikan ekonomi kritis yang menjadikan isu ekonomi global bagian dari literasi publik dan Bangun ketahanan struktural dalam negeri dengan kemandirian industri, teknologi, dan pangan sebagai fondasi perlawanan sejati?
Ya. Ekonomi Indonesia tak bisa dibaca hanya dari angka pertumbuhan. Ia harus dilihat sebagai bagian dari arus global yang kompleks. Tarif, utang luar negeri, dan keanggotaan di BRICS bukan kebetulan—semua itu bagian dari strategi global. Dan publik berhak tahu, agar bisa ikut menentukan, kita mau jadi pemain yang tahu medan, atau hanya jadi bidak dalam catur kekuatan dunia?
Sebagai bangsa, kita perlu menyadari bahwa ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi tentang arah dan posisi. Ketika dunia berubah menuju multipolaritas, kita tak bisa berdiri di tengah dengan mata tertutup. Kita harus menjadi pemain aktif yang tahu siapa kawan, siapa lawan, dan kapan harus mandiri.
Indonesia harus memperkuat akar lokal, memperdalam integrasi nilai-nilai budaya ke dalam strategi ekonomi, dan membangun ulang hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat. Dalam kerangka ini, BRICS bukan hanya forum dagang, tapi juga peluang untuk menata ulang tatanan ekonomi global yang lebih adil—asal kita punya keberanian menentukan arah sendiri.
Namun semua itu akan percuma jika rakyat tetap asing terhadap persoalan-persoalan ini. Maka, literasi publik adalah prasyarat utama. Rakyat yang tahu cara dunia bekerja akan lebih siap menjaga arah bangsa. Dan hanya bangsa yang sadar posisi dan sistem, yang bisa memilih masa depannya sendiri.