Pengamatan saya, kisruh soal hak cipta berawal dari permasalahan antara Ahmad Dhani (band Dewa 19) dengan Once Mekel yang semula merupakan anggota Dewa 19. Dari yang ramai dibahas di beberapa media sosial, Once dilarang menyanyikan lagu-lagu ciptaan Ahmad Dhani atau lagu-lagu Dewa 19.
Kemudian ada lagi persoalan royalti antara Ari Bias sebagai pencipta lagu dengan Agnes Monica sebagai penyanyi. Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, gugatan ganti rugi Rp 1,5 miliar yang dilontarkan Ari Bias dikabulkan. Namun oleh Mahkamah Agung--yang putusannya belum disampaikan secara lengkap--, putusan Pengadilan Niaga Jakpus itu dibatalkan sehingga boleh dikatakan Agnes Monica "menang".
Kini masyarakat, khususnya pengguna musik dan lagu, seperti dibangunkan dari tidur dengan bermunculannya berbagai kasus terkait royalti. Mulai dari sengketa biasa di luar pengadilan seperti kasus Mie Gacoan, sampai kasus yang memasuki proses hukum, baik di ranah pidana maupun perdata. Ada pula yang menempuh upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang hingga saat ini masih berproses.
Kekhawatiran para pengguna musik dan lagu itu semakin lebar akibat kewajiban membayar royalti. Pemilik coffee shop, anggota Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), bagian dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSNI), bahkan kalangan artis sendiri ikut khawatir dan enggan memutar atau menyanyikan lagu ciptaan orang lain.
Beberapa ahri lalu saya diundang menjadi narasumber oleh RSSNI Jawa Barat yang mewakili PRSSNI Nasional. Rupanya mereka juga mulai khawatir dengan dinamika terkait royalti tersebut karena, dalam pandangan mereka, hal ini akan mempengaruhi perjalanan bisnis mereka, termasuk sumber daya manusia di dalamnya. Padahal organisasi radio swasta merasa ikut berkontribusi mempromosikan dan mempopulerkan lagu-lagu ciptaan pencipta.
Hal ini menarik perhatian. Saya membayangkan dampak dari dinamika yang ada akibat adanya gaya tarik-menarik kepentingan di sini yang luar biasa besarnya. Betapa tidak, persoalan tersebut dirasakan para pencipta lagu dan/atau musik dengan menyuarakan hak-nya yaitu penerima royalti, yang dirasakan jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan pendapatan para penyanyi yang menyanyikan lagu ciptaannya begitu juga pengguna yang lain.
Di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya akan disebut UUHC), mengatur yang pada pokoknya:
Yang dimaksud ciptaan di sini adalah ciptaan musik dan lagu. Perlu dimaklumi bersama, UUHC tidak hanya mengatur ciptaan lagu dan/atau musik saja, melainkan banyak sekali jenis karya cipta lainnya, antara lain karya cipta lukisan, koreografi, karya tulis, dan masih banyak lagi jenisnya (lihat Pasal 40 UUHC).
Dengan demikian hemat saya, perlu berhati-hati memandang Hak Cipta, karena mengatur tidak hanya di bidang musik dan lagu saja. Dengan adanya dinamika yang terjadi saat ini, sedikit-banyak, akan membawa konsekuensi logis memengaruhi hak cipta yang lain.
Semula saya kira perdebatan yang terjadi di masyarakat itu akibat pengguna lagu tidak mau membayar royalti kepada pencipta, tetapi kemudian berubah bentuk menjadi pertanyaan, siapa yang berkewajiban membayar royalti? Seraya waktu berjalan, persoalan bergeser menjadi keluhan, pencipta menerima royalti sangat kecil tetapi belakangan justru ada (beberapa) pencipta lagu mempersilakan pengguna menyanyikan lagunya dengan tidak perlu membayar royalti.
Sebetulnya saya juga memiliki pertanyaan, berapa besaran royalti yang akan dibayarkan untuk artis yang sudah populer dan berapa besaran royalti yang akan dibayarkan kepada pencipta lagu yang belum populer? Apakah hal demikian dapat digeneralisir (di sama-ratakan) melalui sebuah regulasi?
Lebih jauh, dapatkah dipastikan sebuah karya cipta lagu begitu diluncurkan akan langsung menjadi lagu yang populer tanpa melibatkan pihak lain yang mempopulerkan? Masih banyak hal lagi yang perlu di diskusikan lebih detail tentang seni musik dan lagu.
Terus terang, hal ini membingungkan, setidaknya buat saya selaku dosen pengampu dan bertanggung jawab dengan mata kuliah hak kekayaan intelektual di kampus tempat saya mengajar yang hingga kini saya diminta membimbing dan menguji mahasiswa yang tugas akhirnya tentang hak kekayaan intelektual, baik Strata 1 maupun Strata 2, juga tidak sedikit masyarakat yang bertanya.
Perlu dimaklumi, bahwa pengaturan hak kekayaan intelektual di Indonesia (salah satunya tentang hak cipta/UUHC), itu tidak begitu saja hadir dan dibuat undang-undang, melainkan merupakan konsekuensi logis sebagai bagian dari masyarakat dunia, di mana Indonesia telah turut serta meratifikasi perjanjian internasional yaitu World Trade Organization (disingkat WTO) yang di dalamnya memuat perjanjian Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (disingkat TRIPS’s) pada tahun 1994.