Saat ini pasar otomotif Indonesia tengah dibanjiri banyak merek mobil asal Tiongkok. Mayoritas di antaranya memboyong produk battery electric vehicle (BEV), hingga meningkatkan tren adopsi kendaraan listrik Di masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebut bahwa pengguna mobil listrik di China sudah tidak lagi memperhatikan resale value atau harga jual kembali.
”Saya sudah pelajari market di China, sebetulnya mereka sudah tidak memperhitungkan yang namanya resale value,” kata Yohannes Nangoi, Ketua Umum Gaikindo kepada kumparan di sela-sela pameran GIIAS 2025 lalu.
Nangoi menambahkan, menggunakan mobil listrik untuk aktivitas sehari-hari selama masa pakai kendaraannya, akan setara dengan menggunakan mobil konvensional.
”Dengan umur mobil listrik rata-rata bisa tujuh sampai delapan tahun, setelah delapan tahun, biaya yang dipakai untuk mobil bensin dengan biaya untuk mobil listrik sudah seimbang,” katanya.
”Sehingga, di akhir usianya mobil listrik nggak ada harganya pun tetap nggak ada masalah,” sambung Nangoi.
Lebih lanjut, harga bensin di China yang mahal mendorong penyerapan kendaraan listrik di pasar domestik. Biaya listrik yang lebih murah menjadikan BEV jadi opsi menghemat biaya operasional.
”Mereka (China) itu harga bensinnya mahal. Listriknya didukung pemerintah, sehingga kalau beli mobil combustion engine maka operational cost-nya mahal. Kalau beli mobil listrik, akan mendapat keuntungan lebih,” ujarnya.
Sementara, di Indonesia masih ada bahan bakar minyak (BBM) yang mendapat relaksasi dari pemerintah. Sehingga belum ada urgensi untuk beralih ke mobil listrik dan masih mementingkan resale value
”Nah, kurang bagusnya di Indonesia, kita menggalakkan mobil listrik supaya bersih lingkungan, tapi bensinnya masih disubsidi. Jadi kontradiktifnya di situ,” pungkas Nangoi.