Catatan Cak AT: Otak Kerusuhan

2 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Otak Kerusuhan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NERWORK -- Di republik yang selalu lapar tontonan politik, sebuah truk diduga membawa massa dengan petasan besar.

Presiden dilapori soal truk itu —drama logistik yang bikin kembang api Tahun Baru kalah pamor. Bayangkan, seorang presiden sampai bicara soal truk pengangkut petasan.

Kapolri pun menabuh genderang: pelaku lapangan diburu, aktor intelektual dikejar. Dan, ini yang paling seksi, siapa yang membiayai huru-hara akan ditarik kupingnya sampai ke bab bukti.

Pihak Komdigi juga sudah memberi sinyal banyaknya aliran dana dari rekening judi online untuk demo.

Baca juga: Tak Hanya Menghasut, Tersangka Kerusuhan Juga Ajari Pelajar Cara Membuat Bom

Ada pengemudi ojol yang tewas terlindas rantis, keluarga menangis di RSCM, sementara warganet sibuk berdebat apakah ini kealpaan, ekses, atau bagian dari orkestrasi. Negara serius —setidaknya pernyataan resminya —tapi linimasa lebih ramai dari Pasar Senin.

Di sisi jalan yang lain, Ferry Irwandi, aktivis medsos yang lebih fasih berorasi daripada banyak politisi pasca-edit, menuding ada trio akun X —NdrewsTjan, Mas Veel, dan Miss Tweet— yang layak diselidiki. Dari akun-akun inilah, tudingnya, seruan pemantik demo bermula.

"Ini bukan intervensi asing, ini muncul dalam kekuasaan," katanya. Klaimnya dibagikan lintas platform, ditelan jutaan mata, diperdebatkan sejuta jempol. Media daring ikut mengutip, linimasa menyambut dengan dua kubu: "akhirnya ada yang ngomong" versus "ini tuduhan tanpa bukti."

Baca juga: Penutupan Live Tiktok Akibat Peraturan Menteri Ambigu

Aparat? Masih meniti jejak digital yang katanya mudah dilacak, tapi selalu saja ada lorong gelap di balik layar. Jadi, sementara negara menyalakan senter, publik menyalakan prasangka.

Mari kita obrolkan "otak kerusuhan." Bukan sekadar siapa yang melempar batu, tapi siapa yang menjual batu, menulis naskah lemparannya, mengatur timing, dan mengontrak penonton bayaran.

Dalam studi-studi tentang _"cyber troops"_ dan _"coordinated inauthentic behavior"_ (CIB), pola yang berulang itu begini: akun asli dirangkul akun palsu, narasi dipanaskan serempak, komentar diseragamkan, tagar diorbitkan, lalu algoritma mengira "ini organik" —padahal kebun plastik.

Oxford Internet Institute memotret operasi semacam ini di puluhan negara. Indonesia masuk peta dengan kapasitas "medium." Artinya cukup rapi, cukup rutin, dengan tenaga paruh-waktu dan penuh-waktu yang tahu jobdesk.

Baca juga: Polrestro Depok Gencar Laksanakan Patroli Siang dan Malam Guna Ciptakan Situasi Aman dan Nyaman

Facebook-Meta bahkan rutin merilis laporan "CIB takedown" yang menunjukkan jaringan bayaran dibersihkan tiap bulan. Artinya, industri ini bukan mitos, tapi siklus.

Dan ya, kita bukan desa terasing dari sains data. Literatur terbaru membedah metriknya: lonjakan posting serentak dalam menit yang sama, kemiripan frasa lintas akun, graf interaksi yang berulang di jam-jam "shift", sampai pola "copy-paste" komentar antarkanal.

Peneliti di arXiv menjelaskan bagaimana deteksi koordinasi melihat sinkronisasi temporal dan keseragaman konten. Jurnalisme data mempraktikkan _"bot spotting"_ dengan menjejak foto curian, umur akun, hingga _"act-as-a-crowd."_

Jadi ketika Ferry menyebut "ribuan komentar seragam," itu bukan sekadar rasa. Ada disiplin metrik untuk menguji seragamnya kemeja para buzzer. Tapi, tentu saja, klaim individual tetap butuh pembuktian forensik: siapa operatornya, siapa kliennya, dan siapa bendaharanya.

Baca juga: Tinjauan Sosiologis Terhadap Gelombang Protes di Indonesia

Namun ada sisi yang kerap dilupakan: kadang terdapat momentum ketika narasi dari akun-akun yang bukan palsu —atau juga yang palsu— mendadak teramplifikasi karena rakyat yang memang senang dengan konten-konten tersebut merasa sejalan pikirannya. Mereka memandang para akun itu sebagai corong keresahan yang sudah lama mengganjal di tenggorokan.

Ingatan kolektif itu bukan kosong. Ada kasus Km 50 yang menewaskan enam anggota FPI; tragedi Kanjuruhan yang merenggut lebih dari 130 nyawa; serpihan peristiwa kekerasan polisi di berbagai momen; keluhan atas kenaikan pajak di sejumlah daerah yang dirasa "melompat".

Dan ada deretan kasus korupsi bernilai triliunan —yang terbaru, dugaan tata kelola minyak Pertamina dengan angka fantastis.

Semua ini menjadi sekam yang siap terbakar. Percikan kecil di linimasa langsung menyambar jerami di lapangan. Ketika kepercayaan retak, amplifikasi terjadi bukan karena bot semata, tetapi karena manusia menemukan gema dari getirnya sendiri.

Baca juga: Catatan Cak AT: Bukan Sekadar 'Bubarkan DPR'

Nah, di titik ini, humor adalah cara terakhir untuk tetap waras. Kita kerap menganggap kerusuhan itu "swadaya." Seperti arisan RT: datang sendiri, pulang sendiri, uangnya dari "tangan tak terlihat." Padahal uang jarang tak terlihat; dia cuma lewat rekening yang tak mau dilihat.

Kapolri sudah berjanji menembus kabut pendanaan. Presiden bicara soal truk petasan. Ini dua benang merah yang, bila ditarik dengan sabar, bisa ketemu gulungannya.

Persoalannya, warga sudah keburu letih disuguhi drama tanpa bab penutup. Transparansi harus lebih cepat dari rumor. Kalau tidak, rumor akan mengaku sebagai kebenaran yang "lebih gesit."

Di sisi propaganda digital, kita perlu bedakan tiga hal. Pertama, ekspresi politik warga —keras boleh, asal tidak menghasut kekerasan.

Baca juga: Masa Tantang Ketua DPRD Majalengka Baca Pancasila, Responsnya Bikin Tepuk Tangan Meriah

Kedua, orkestrasi terkoordinasi yang pura-pura organik —ini tugas penegak hukum dan platform untuk diurai kabelnya.

Ketiga, mis/disinformasi —ini wilayah literasi, kurikulum, dan —mohon maaf— kemauan kita membaca lebih dari judul.

Riset ISEAS dan mitra-mitranya menunjukkan ekosistem "buzzer" kita tumbuh dari industri kampanye, merembes ke isu kebijakan. Mereka bukan hantu; mereka pekerja.

Di sisi lain, laporan CSIS Indonesia mengonfirmasi kolaborasi temporer para _"cyber troops"_ untuk proyek-proyek isu. Sifatnya cair, pragmatis, berbasis tender. Artinya, penyelesaiannya tidak cukup _moral lecture._ Perlu regulasi, penegakan hukum, serta mekanisme audit belanja komunikasi politik.

Baca juga: 1.240 Orang Pendemo Anarkis Ditangkap, Kapolda: Mereka dari Luar Jakarta

Kasus Cambridge Analytica kerap dijadikan nenek moyang cerita seram. Alkisah, data jutaan pengguna disedot untuk mikro-targeting, pesan dipersonalisasi sampai orang memilih tanpa sadar sedang dibujuk.

Apakah semua negara meniru? Tidak semua, tapi prinsipnya menular: segmentasi, personifikasi, dan repetisi. Indonesia punya versi lokal —lebih murah, lebih meriah, dengan kombinasi buzzer, influencer, dan "konsultan kreatif."

Ini tidak otomatis ilegal, tapi bisa berbahaya bila menyeberang ke manipulasi terselubung, ujaran kebencian, atau pemantik kekerasan. Karena itu, tiap klaim "dalang digital" harus diuji: jejak pembayaran, konsistensi konten, hubungan akun, dan titik temu antara linimasa dan lapangan.

Lalu bagaimana dengan nama-nama besar yang kini jadi buruan hukum? Riza Chalid kembali mencuat. "Gasoline Godfather" versi tajuk lama. Kali ini ia sebagai tersangka dalam perkara tata kelola minyak dengan angka kerugian yang bikin kalkulator ngos-ngosan.

Baca juga: Wali Kota Depok Supian Suri Pesan ke Para Ortu Agar Anaknya Tak Ikut Aksi Demo

Kejaksaan menyebutnya berstatus DPO. Aset disita; proses bergulir. Apakah ada kaitannya dengan suhu jalanan? Kapolri menjawab akan bergerak berdasar bukti, bukan gosip.

Itu jawaban benar —sekaligus pengingat:...

Read Entire Article