Oleh JOHAN ROSIHAN; Sekretaris FPKS MPR RI
REPUBLIKA.CO.ID,Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai kota Indonesia sejak akhir Agustus menandai kenyataan bahwa rakyat sedang melakukan “interupsi” kepada kekuasaan. Layaknya interupsi di ruang sidang DPR, aksi-aksi di jalanan bertujuan menghentikan alur politik yang dianggap tidak adil, lalu mengingatkan pada hal yang lebih penting: suara rakyat. Namun, ketika interupsi publik ini tidak dikelola, ia bergeser dari demokrasi menjadi destruksi.
Pemicu awal kemarahan publik adalah isu tunjangan anggota DPR yang dianggap berlebihan. Paket fasilitas Rp 50 juta per bulan di luar gaji pokok memantik gelombang protes. Rakyat membandingkan dengan upah minimum yang hanya seujung kuku, sehingga ketidakadilan kian terasa mencolok. Demonstrasi meluas di Jakarta, Surabaya, Makassar, Mataram, Sumbawa, Medan, hingga Yogyakarta, memperlihatkan bahwa kemarahan ini bersifat nasional, bukan lokal.
Tragedi terjadi ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring berusia 21 tahun, tewas tertabrak mobil dinas polisi saat berlangsungnya demo. Peristiwa ini membangkitkan simpati sekaligus kemarahan publik. Di Yogyakarta, seorang mahasiswa meninggal dalam bentrokan. Catatan lembaga hak asasi menyebut sedikitnya sepuluh orang tewas di berbagai daerah. Artinya, interupsi publik yang seharusnya menjadi mekanisme demokrasi malah menjadi tragedi sosial.
Di tengah situasi tersebut, pemerintah dan elit politik masih cenderung merespons dengan pendekatan keamanan. Gas air mata, peluru karet, hingga penangkapan massal menjadi pemandangan sehari-hari. Padahal, tindakan represif hanya memperlebar jurang ketidakpercayaan. Di sinilah pentingnya mengelola interupsi publik, agar energi rakyat tidak hilang sia-sia, melainkan menjadi sumber koreksi kebijakan.
Interupsi sebagai hak demokratis
Hak menyampaikan pendapat dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E dan UU No. 9 Tahun 1998. Demonstrasi adalah bentuk paling kasat mata dari kebebasan itu. Dalam sistem demokrasi, ia berfungsi sebagai mekanisme kontrol, sama pentingnya dengan fungsi interupsi di parlemen. Bedanya, interupsi publik hadir di jalanan, dengan segala risiko benturan fisik.
Interupsi adalah simbol bahwa rakyat masih peduli. Jika rakyat memilih diam, itu justru pertanda berbahaya, karena bisa berarti apatisme total. Dengan kata lain, demonstrasi adalah tanda vital bahwa demokrasi masih berdenyut. Negara yang menutup mata dan telinga terhadap suara publik justru sedang mempercepat proses delegitimasi dirinya.
Masalah muncul ketika negara lebih sering menganggap demonstrasi sebagai ancaman ketertiban, bukan sebagai mekanisme koreksi. Narasi yang berkembang kerap menyudutkan demonstran sebagai perusuh, padahal mayoritas turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi secara damai. Stigmatisasi semacam ini mereduksi makna demokrasi menjadi sekadar prosedural, tanpa substansi partisipasi.
Lebih jauh, interupsi publik seharusnya dipandang dalam kerangka partisipasi politik. Demokrasi tidak hanya berhenti pada bilik suara lima tahunan. Ia hidup setiap hari lewat partisipasi rakyat, baik melalui kanal formal seperti parlemen dan musyawarah publik, maupun kanal informal seperti demonstrasi. Maka, merespons interupsi publik dengan kekerasan adalah bentuk kemunduran demokrasi.