Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid mengatakan tanah “nganggur” dua tahun akan disita negara itu hanya untuk tanah yang bersertifikat hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangun (HGB).
Nusron menyebut, menurut data yang dimilikinya, saat ini terdapat jutaan hektare tanah HGU dan HGB yang tidak produktif. Meski begitu, dia belum mengungkapkan berapa jumlah pasti luas tanah yang dinilai tidak produktif itu.
“Kita perlu jujur mengakui ada jutaan hektare tanah dengan status HGU hak guna usaha, dan HGB hak guna bangunan, yang kondisinya telantar, tidak produktif, dan tidak memberikan manfaat secara optimal bagi masyarakat,” kata Nusron di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Selasa (12/8).
Nusron menyebut, tanah-tanah HGU dan HGB yang tidak optimal itu bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat maupun untuk dibangun sarana/prasarana program-program pemerintah.
“Inilah yang menurut saya dapat kita dapat gunakan untuk program-program strategis pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan rakyat. Baik dari reforma agraria, pertanian rakyat, ketahanan pangan, perumahan murah, hingga penyediaan lahan bagi kepentingan umum seperti sekolah rakyat, puskesmas, dan sebagainya,” tuturnya.
Politisi Golkar itu menegaskan, tanah milik rakyat dengan sertifikat hak milik (SHM) tidak akan disita oleh negara. Dia menambahkan, Tanah yang disita adalah HGU dan HGB yang tidak produktif.
“Jadi ini semata-mata menyasar lahan yang statusnya HGU dan HGB yang luasnya jutaan hektare, tapi dianggurkan, tidak dimanfaatkan, dan tidak produktif. Bukan menyasar tanah rakyat, sawah rakyat, pekarangan rakyat, atau tanah waris, apalagi yang sudah mempunyai status sertifikat hak milik maupun hak pakai,” pungkasnya.
Aturan Tanah Nganggur Disita Negara
Peraturan mengenai negara dapat menyita tanah yang telantar sudah memiliki payung hukum yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Dijelaskan dalam beleid tersebut, pemerintah dapat mengambil alih tanah yang telantar atau nganggur selama lebih dari dua tahun setelah hak atas tanah diberikan. Penjelasannya termaktub dalam Pasal 7 ayat (3) dan (4), berikut bunyinya:
(3) Tanah hak guna bangunan, hak pakai, dan Hak Pengelolaan menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.
(4) Tanah hak guna usaha menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.