Kesehatan mental adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang kerap diabaikan ketika berbicara soal krisis ekonomi. Ketidakjelasan kondisi negara — mulai dari terbatasnya lapangan kerja, upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR), kesenjangan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, hingga polemik honor guru dan dosen — bukan hanya berdampak pada dompet, tetapi juga pada pikiran, emosi, dan motivasi hidup masyarakat.
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental tidak hanya berarti bebas dari gangguan jiwa, tetapi juga mencakup kemampuan seseorang untuk mengelola stres, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada komunitasnya. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, tekanan hidup bisa meningkat tajam dan memicu berbagai masalah mental seperti kecemasan, depresi, hingga burnout.
Artikel ini akan membahas secara ringkas namun mendalam bagaimana situasi ketidakpastian ekonomi dan sosial di Indonesia memengaruhi kesehatan mental, serta strategi apa saja yang dapat dilakukan untuk menghadapinya.
Gambaran Ketidakpastian Lapangan Kerja dan Upah di Bawah UMR
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, bertambah 83.450 orang dibandingkan tahun sebelumnya. Fenomena ini dapat dilihat dari berbagai situasi, seperti lapangan kerja yang tersedia sering kali bersifat kontrak pendek, tidak memiliki jaminan sosial, dan rawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Banyak pekerja di sektor informal seperti ojek daring, pekerja lepas, dan buruh harian, yang tidak memiliki perlindungan hukum dan kesejahteraan memadai. Situasi ini sejalan dengan teori social causation, yang menyatakan bahwa status sosial ekonomi rendah meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental karena keterbatasan sumber daya dan ketidakamanan pekerjaan.
Data International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa di Indonesia, rata-rata gaji pekerja berada pada kisaran Rp 3,04 juta per bulan, yang bagi sebagian wilayah masih berada di bawah UMR setempat. Pekerja dengan upah rendah menghadapi tekanan psikologis yang tinggi — kekhawatiran membayar kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, dan biaya kesehatan.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan kesulitan finansial kronis di tengah melambung tingginya kebutuhan hidup saat ini. Stres kronis yang tidak terselesaikan akan berdampak pada berbagai macam hal, seperti kesehatan fisik, psikologis, fungsi kognitif, daya ingat, dan bahkan kesejahteraan hidup seseorang secara umum.
Karakteristik Pekerja Upah Rendah
Melihat fenomena ini, kita bisa mengelompokkan mengenai siapa saja kelompok pekerja upah rendah di Indonesia. Beberapa kelompok mayoritas yang berisiko mendapatkan upah rendah di antaranya adalah: usia muda (gen z dan milenial awal) di mana mereka masih merintis karier, perempuan, pekerja paruh waktu, dan tidak memiliki kontrak formal atau perlindungan sosial dari pemberi kerja. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap ketidakpastian dan sulit mengakses fasilitas kesehatan, termasuk layanan kesehatan mental.
Dampak Stres pada Kesehatan Fisik dan Mental
Di dunia kerja, dikenal istilah Read Entire Article