Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan selama ini penyaluran subsidi energi masih dilakukan secara terbuka, sehingga tidak seluruhnya tepat sasaran. Untuk itu, pemerintah berencana menerapkan sistem baru dengan skema mirip subsidi listrik.
“Nanti pengguna dari yang sekarang, seperti contoh di sektor listrik, yang langganan tinggi itu mendapatkan harga yang berbeda dengan yang di bawah dengan mekanisme semacam itu bisa diimplementasikan di sektor energi lain,” ujar Airlangga dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026, Jumat (15/8).
Airlangga menegaskan mekanisme tersebut masih dalam tahap pembahasan internal. Ia memastikan sebelum dijalankan, pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
"Nanti pada waktunya akan disosialisasikan ke masyarakat sebelum dilaksanakan. Namun, sekarang masih dalam penggodokan,” tutur Airlangga.
Subsidi Energi 2026 Naik 14,2 Persen
Rencana perubahan skema subsidi ini disampaikan di tengah meningkatnya alokasi subsidi energi pada RAPBN 2026. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengungkapkan, pemerintah menetapkan subsidi energi sebesar Rp 210 triliun, mencakup BBM, listrik, dan LPG 3 kg.
Anggaran subsidi energi tersebut masuk dalam pos perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp 508,2 triliun. Sementara subsidi nonenergi dipatok Rp 17,4 triliun, digunakan untuk menutup public service obligation (PSO) di sektor transportasi, perumahan, dan penyediaan air bersih.
“Subsidi energi Rp 210 triliun, susbidi non energi Rp 17,4 triliun ini terutama untuk berbagai PSO alat-alat transportasi yang tarifnya lebih rendah dari biaya mereka dan juga perumahan serta air,” kata Sri Mulyani dalam kesempatan yang sama.
Bila dibandingkan, subsidi energi 2026 meningkat 14,2 persen dari outlook APBN 2025 sebesar Rp 183,878 triliun, serta lebih tinggi dari realisasi 2024 yang tercatat Rp 177,615 triliun.