Sebanyak lima jurnalis Al Jazeera tewas pada Minggu (10/8) malam akibat serangan terarah Israel ke tenda tempat mereka bekerja di Gaza City.
Kematian Anas Al-Sharif (28), Mohammed Qreiqeh (33), Ibrahim Zaher (25), Mohammad Noufal (29), dan Moamen Aliwa (23) kembali menyoroti minimnya perlindungan bagi jurnalis di wilayah konflik tersebut.
Lantas seperti apa sebenarnya kondisi hukum perlindungan jurnalis di sana? ini penjelasannya.
Berdasarkan laporan Reporters Without Borders (RSF) menyebut Palestina sebagai salah satu wilayah paling berbahaya bagi jurnalis.
Menurut laporan mereka, dalam 18 bulan terakhir saja, sekitar 200 jurnalis tewas di Gaza akibat serangan Israel. Mirisnya tekanan juga datang dari pihak Otoritas Palestina, khususnya di Tepi Barat, jurnalis kerap menjadi korban pelanggaran dari kedua pihak.
Padahal, Undang-Undang Dasar Otoritas Palestina (amandemen 2003) menjamin kebebasan pers, termasuk larangan sensor media tanpa dasar hukum dan putusan pengadilan.
“Kebebasan media audio, visual, dan tulisan, serta kebebasan untuk mencetak, menerbitkan, mendistribusikan, dan mentransmisikan, beserta kebebasan individu yang bekerja di bidang ini, dijamin oleh Undang-Undang Dasar ini dan undang-undang terkait lainnya. Sensor media dilarang. Peringatan, penangguhan, penyitaan, pembatalan, atau pembatasan tidak boleh dikenakan kepada media, kecuali berdasarkan undang-undang dan berdasarkan keputusan pengadilan,” bunyi pasal 27 undang-undang itu.
Namun, juga dari RSF, praktiknya sering berbenturan dengan kepentingan politik. UU Kejahatan Siber 2017, misalnya, membatasi kebebasan berekspresi. Begitupun di Gaza, perpecahan politik antara Hamas dan Fatah membuat Dewan Legislatif tak lagi memproduksi regulasi baru sejak 2007.
Laporan NGO itu juga menyebut, sejak 7 Oktober 2023, jurnalis di Gaza menghadapi tekanan ganda: ancaman dari Hamas dan tuduhan Israel bahwa mereka bagian dari kelompok itu. Itu pun diperburuk oleh blokade, kekerasan, kampanye hitam, dan ancaman langsung terhadap keselamatan mereka--seperti yang dialami Anas Al-Sharif.
"Beberapa waktu lalu, di Gaza City, IDF menyerang teroris Anas Al-Sharif, yang menyamar sebagai jurnalis jaringan Al Jazeera. Al-Sharif menjabat sebagai kepala sel teroris Hamas dan bertanggung jawab atas serangan roket terhadap warga sipil Israel dan pasukan IDF," bunyi unggahan di media sosial X milik media nasional Israel @ArutzSheva_En. Tuduhan ini pun segera dibantah Al-Jazeera.
Bagaimana di mata Internasional?
Menurut Mahkamah Internasional (ICJ), serangan yang disengaja terhadap jurnalis yang tidak terlibat langsung dalam permusuhan melanggar hukum HAM internasional dan hukum humaniter internasional.
Resolusi DK PBB 2222 (2015) mewajibkan negara melindungi jurnalis serta mengusut tuntas pelanggaran terhadap mereka. Begitupun pembunuhan yang disengaja terhadap jurnalis, sebagai orang yang dilindungi, atau dengan sengaja menyebabkan cedera serius, dalam konteks konflik bersenjata internasional merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa, dan kejahatan perang berdasarkan hukum kebiasaan internasional serta berdasarkan Pasal 8(2)(a) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Setiap pelanggarnya kemudian harus diinvestigasi atas insiden-insiden dengan cara yang tidak memihak, cepat, menyeluruh, efektif, kredibel, dan transparan.
"Karena Palestina adalah Negara Pihak Statuta Roma, ICC memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki dan mengadili dugaan kejahatan perang, termasuk pembunuhan yang disengaja, atau serangan yang disengaja terhadap jurnalis, yang dilakukan di Jalur Gaza oleh IDF – atau yang dilakukan di Israel oleh kelompok bersenjata Palestina," tulis laporan ICJ.