REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Bupati Pati, Sudewo di ujung tanduk. Setelah didemo besar-besaran oleh warganya, dia juga terancam akan dimakzulkan. Menurut Pakar hukum tata negara Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Nanang Sri Darmadi, terdapat alasan hukum yang kuat untuk memakzulkan Bupati Pati Sudewo. Dia menilai, Sudewo telah mengambil kebijakan yang tak memprioritaskan atau mempertimbangkan kepentingan rakyat.
Nanang menerangkan, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah mengatur tentang pemberhentian kepala daerah. "Salah satu hal yang bisa dijadikan dasar untuk penggantian dan pemberhentian (kepala daerah) itu ketika tidak menaati sumpah dan janji. Bahwa salah satu sumpah kepala daerah itu harus menyelenggarakan pemerintahan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya," ucapnya, Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, kebijakan Sudewo menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dapat dipandang memenuhi unsur tersebut. "Bupati ini membuat satu kebijakan yang tidak mempertimbangkan kepentingan umum; menaikkan PBB-P2 250 persen dengan tidak melihat kondisi objektif masyarakatnya," ujar Nanang.
"Artinya kebijakan itu tidak mengedepankan kepentingan masyarakat banyak atau kepentingan umum. Dampaknya apa? Dampaknya meresahkan masyarakat," tambah Nanang.
Kendati demikian, dia menjelaskan bahwa proses pemakzulan kepala daerah cukup panjang. Hal pertama yang perlu ditempuh adalah masyarakat harus menyampaikan aspirasinya ke lembaga legislatif atau DPRD dengan membawa bukti-bukti. Selanjutnya DPRD harus menggelar sidang paripurna untuk mengambil keputusan.
"Kemudian sebelum mereka menyerahkan ususan pemberhentian ke menteri dalam negeri, karena wewenang untuk memberhentikan bupati dan wali kota itu ada di tangan menteri dalam negeri, DPR itu harus membuktikan dulu tentang tuduhan itu benar atau tidak di Mahkamah Agung," kata Nanang.
Dia menambahkan, pengujian di Mahkamah Agung maksimal dilakukan selama 30 hari. Putusan Mahkamah Agung dibutuhkan agar upaya pemakzulan tidak bernuansa atau berdasarkan kepentingan politik semata.
"Setelah ada putusan (Mahkamah Agung), nah putusan itu dijadikan dasar untuk pengajuan permohonan pemberhentian ke menteri dalam negeri melalui gubernur," ujarnya.
Nanang menjelaskan, pada beberapa kasus tertentu, Kementerian Dalam Negeri bisa mengambil inisiatif penggantian kepala daerah tanpa usulan DPRD. Hal itu dapat dilakukan kepala daerah terkait mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tersangkut kasus hukum.