Pengunjung mengamati layar yang menampilkan informasi pergerakan perdagangan karbon internasional pada awal pembukaan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (20/1/2025).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menargetkan sektor kehutanan segera masuk dalam perdagangan karbon Indonesia. Langkah ini diharapkan mendorong rehabilitasi kawasan hutan dan menekan deforestasi di Tanah Air.
“Voluntary carbon market juga akan segera mungkin kita buka, karena dengan terutama merevisi Pepres 98 yang sedang berjalan itu akan memungkinkan pihak swasta untuk berinvestasi,” kata Raja Juli usai acara "Kick Off Meeting Concept Note dan Proposal Pendanaan Baru untuk RBP REDD+ CGF Tahap II" di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon diyakini dapat mempercepat pemulihan kawasan hutan dan lahan. Kebijakan ini juga ditujukan untuk mencegah kebakaran hutan serta degradasi lahan.
Menhut menyebut terdapat sekitar 6,5 juta hektare lahan terdegradasi yang memerlukan rehabilitasi. Ia berharap pendanaan dari perdagangan karbon dapat menjadi sumber dukungan utama.
“Dengan kemudian kita membuka voluntary carbon market ini, kita berharap akan ada investasi untuk menanam di daerah-daerah yang tandus itu dan konsekuensinya tentu swasta mendapatkan insentif dari usaha mereka. Tapi saya kira ini juga akan baik untuk pendapatan negara melalui pajak dan lain sebagainya, sebuah mekanisme yang akan kita bicarakan bersama,” ujarnya.
Sebelumnya, Raja Juli menargetkan perdagangan karbon sektor kehutanan dimulai Juli tahun ini, namun tertunda menunggu revisi Perpres 98/2021. Pada tahap awal, perdagangan karbon akan mencakup pengelolaan hutan oleh swasta Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan Perhutanan Sosial.
PBPH memiliki potensi serapan 20–58 ton CO2 per hektare dengan harga 5–10 dolar AS per ton, sementara Perhutanan Sosial mampu menyerap hingga 100 ton CO2 per hektare dengan harga hingga 30 euro per ton.
Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor kehutanan diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2 dengan nilai transaksi Rp1,6 triliun–Rp3,2 triliun per tahun.
sumber : Antara