Rahmat Saleh, Anggota Komisi IV DPR RI & Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Usahid Jakarta
Oleh : Rahmat Saleh*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Skandal beras oplosan bukan sekadar persoalan ekonomi atau hukum semata, melainkan cerminan dari kegagalan sistem komunikasi yang kompleks dalam tata kelola pangan nasional. Praktik pengoplosan beras yang merugikan negara hampir Rp99 triliun menunjukkan adanya breakdown komunikasi di berbagai level, dari kebijakan publik hingga implementasi di lapangan.
Sebagai anggota Komisi IV DPR yang sehari-hari bergulat dengan persoalan pangan, sekaligus peneliti komunikasi, saya melihat ada pola yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar tindak kriminal yaitu kegagalan kita membangun percakapan publik yang jernih dan solutif tentang keamanan pangan. Inilah akar mengapa kepanikan berulang setiap kali kasus terkuak, sementara kepercayaan pada sistem kian merosot.
Teori Spiral of Silence dalam Konteks Kebijakan Pangan
Elisabeth Noelle-Neumann dalam teori Spiral of Silence menjelaskan bagaimana individu cenderung menyembunyikan pendapat mereka ketika merasa berada di posisi minoritas. Dalam konteks beras oplosan, teori ini sangat relevan untuk memahami mengapa praktik ini bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa terdeteksi. Para pelaku di lapangan kemungkinan mengetahui adanya praktik oplosan. Tetapi mereka memilih diam karena takut menjadi "whistleblower" yang terisolasi.
Isu beras oplosan seperti bola salju yang hanya menggelinding saat ada momentum besar, misalnya operasi gabungan atau kasus keracunan. Setelah heboh beberapa hari, ia lenyap dari radar media. Padahal, ancaman ini bersifat sistemik dan terus terjadi. Inilah yang dalam ilmu komunikasi disebut efek Agenda Setting. Media punya kekuatan membentuk apa yang kita anggap penting. Jika pemberitaan sporadis, masyarakat akan menganggap ini masalah insidental, bukan kegagalan struktural yang mendesak perbaikan kebijakan. Akibatnya? Tekanan publik untuk solusi menyeluruh menguap begitu berita reda.
Framing Theory dan Pembentukan Opini Publik
Teori framing dari Erving Goffman menjelaskan bagaimana media dan elit politik membingkai suatu isu untuk mempengaruhi persepsi publik. Dalam kasus beras oplosan, kita melihat berbagai frame yang berbeda. Seperti frame "mafia pangan" yang menekankan aspek kriminal, frame "kebijakan yang salah" yang fokus pada aspek regulasi, dan frame "perlindungan konsumen" yang mengutamakan hak masyarakat.