
PENELITI senior departemen ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menilai, rencana pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN) belum menyentuh akar persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Rencana pembentukan lembaga setingkat kementerian itu disampaikan usai pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dengan sejumlah serikat buruh di Istana Kepresidenan, Senin (1/9).
"Pembentukan Dewan Buruh sebenarnya, baik. Tapi, pemerintah juga harus melihat realita bahwa begini (masalah) struktur perekonomian dan upah kita," ujar Deni dalam Diskusi Publik bertajuk 'Wake up call dari Jalanan: Ujian Demokrasi dan Ekonomi Kita' secara daring, Selasa (2/9).
Ia menegaskan, isu kesejahteraan buruh tidak semata-mata soal upah yang tinggi, melainkan juga terkait biaya hidup sehari-hari. Pemerintah seharusnya berperan menekan biaya hidup, misalnya melalui penyediaan transportasi publik yang memadai, tunjangan kesehatan, serta layanan sosial lainnya. Dengan begitu, buruh tidak perlu terus-menerus menuntut kenaikan upah tinggi yang justru dapat berisiko bagi stabilitas ekonomi.
Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) di Indonesia memang relatif rendah. Namun ironisnya, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), hanya sekitar 16% pekerja yang menerima upah sesuai atau di atas UMP pada 2024. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari rendahnya produktivitas tenaga kerja di Indonesia.
“Siapa yang tidak ingin kesejahteraan meningkat? Tapi, masalahnya, produktivitas kita rendah karena surplus tenaga kerja sangat besar. Yang bersedia kerja, misalnya upahnya rendah pun, dia masuk," jelas Deni.
Di satu sisi, ia melihat kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi justru berpotensi mengurangi kesempatan kerja. Hal ini terjadi karena produktivitas pekerja tidak merata. Rendahnya produktivitas sendiri salah satunya dipengaruhi oleh minimnya investasi pada sejumlah sektor industri.
Ekonom CSIS itu menerangkan permasalahan mendasar mengapa investasi mendek karena faktor permasalahan struktural. Seperti, tingginya suku bunga akibat crowding out effect dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), serta tingginya ketidakpastian hukum dan risiko bisnis di dalam negeri.
Kondisi ini membuat pelaku usaha ragu menanamkan modal untuk meningkatkan kapasitas produksi, termasuk investasi pada mesin dan teknologi.
"Karena ada ketidakpastian hukum dan resiko bisnis yang besar juga, investor akan mikir untuk investasi di sini," ucapnya. (H-4)