
KOMISIONER Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitasari, menyayangkan masih adanya keterlibatan pelajar dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung di sejumlah daerah.
Ia menilai pola pergerakan pelajar kali ini jauh lebih masif dan terstruktur dibandingkan aksi penolakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), setahun lalu.
“Ada kesimpulan besar dalam aksi ini. Pertama, keterlibatan pelajar digerakkan secara masif. Kedua, pola perencanaan terlihat lebih rapi, bahkan sampai ke daerah pun pesertanya mayoritas pelajar,” ujar Diyah, dikutip Selasa (2/9).
Menurut Diyah, jika aksi tahun lalu banyak pelajar tergerak secara organik melalui jejaring game online, aksi kali ini justru dimobilisasi melalui siaran pesan berantai di WhatsApp.
Lebih memprihatinkan, kata dia, keterlibatan itu juga difasilitasi oleh alumni dan pihak-pihak lain sehingga sebagian pelajar ikut tanpa benar-benar memahami konteks. “Bahkan hari ini masih ada anak-anak yang dirawat di rumah sakit akibat aksi tersebut,” tambahnya.
KPAI juga menyoroti keras tindakan represif aparat penegak hukum terhadap pelajar yang terlibat. Diyah mengungkapkan ada pelajar yang dituntut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), alih-alih menggunakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
“Ada yang diperlakukan tidak manusiawi, ditahan lebih dari 1x24 jam, bahkan dicampur dengan tahanan dewasa. Ini jelas melanggar aturan,” tegasnya.
Lebih jauh, KPAI juga menerima laporan adanya kekerasan fisik yang dialami pelajar di lapangan baik berupa pemukulan maupun intimidasi. Dia menekankan, anak-anak memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tetap mendapat perlindungan hukum, meskipun terlibat dalam aksi massa.
“Kami berharap pemerintah dan aparat hadir untuk mendampingi anak-anak di proses hukum, bukan malah membiarkan mereka tanpa perlindungan,” pungkasnya. (Far/P-2)