REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai kebijakan pemerintah daerah Pati, Cirebon, dan Jombang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan dampak dari efisiensi transfer dana dari pemerintah pusat. Ia menyebut, langkah ini menjadi solusi jangka pendek meski berisiko memicu gejolak di masyarakat.
“Ada unsur dari kebijakan pemerintah pusat yang juga berimpak terhadap situasi di Pati kemarin. Ini berawal dari besarnya transfer ke daerah yang diefisienkan, Rp50 triliun. Memang kelihatannya itu hanya seperlima dari total efisiensi yang ditargetkan, tapi bagi daerah itu angka yang besar,” kata Eko di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, banyak daerah di Indonesia memiliki kapasitas fiskal rendah sehingga bergantung pada dana transfer pusat. Pati, kata dia, termasuk daerah dengan kapasitas fiskal yang belum kuat.
“Sehingga dia harus sangat bergantung dari transfer ke daerah. Implikasinya ketika diefisiensikan, kepala daerahnya pada pusing dong,” ujarnya.
Eko menjelaskan, daerah yang sumber daya alam dan ekonominya terbatas akan mengalami tekanan ketika aliran dana dari pusat dipangkas. Cara berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan daerah, menurutnya, adalah penguatan aktivitas ekonomi.
"Kalau ekonomi tumbuh, masyarakat membayar retribusi. Tapi daerah rupanya memilih short term, cara-cara cepat. PBB rata-rata yang ditarget itu karena langsung (hasilnya bisa terasa), jadi kepala daerah menaikkan tarif PBB,” katanya.
Ia mengkritik kenaikan PBB yang dinilai tidak wajar dan kemungkinan besar dilakukan untuk menutup kekurangan pendapatan akibat berkurangnya transfer pusat. “Dugaan saya itu menghitung dari gap yang harus dia dapat. Kalau disimulasikan 250 persen naik, nutup nih atau at least menambah pendapatan daerah. Tapi kalau naiknya sampai 200 persen lebih, pasti pada teriak,” ujarnya.
Menurut Eko, ada dua masalah utama dalam kebijakan ini, yaitu kurangnya sensitivitas terhadap kondisi ekonomi masyarakat dan tekanan untuk menutup penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). “Langkah-langkah jangan pendek seperti itu, implikasinya langsung risikonya adalah kepada kursi kepemimpinan dia. Apalagi disampaikan dengan bahasa-bahasa yang seperti itu, nantang kan itu,” katanya.
Eko menambahkan, efisiensi transfer pusat sangat berisiko karena daerah tidak secepat pusat dalam mencari sumber penerimaan baru.
“Efisiensi ke daerah itu sangat berisiko ya, karena daerah itu tidak secepat pusat untuk mencari bagaimana sumber-sumber penerimaan baru ataupun juga kreativitas, sumbernya manusianya masih di bawah dari pusat,” ujarnya.
Ia mengusulkan pemerintah daerah memanfaatkan jalur non-konvensional untuk menambah pendapatan, seperti menggelar kegiatan hiburan yang menghidupkan aktivitas ekonomi. “Bukan dengan menaikkan PBB, tapi membangun aktivitas ekonomi di daerah. Misalkan dia punya alun-alun, bikin festival atau apa yang bisa menghidupkan kegiatan di sekitar situ, UMKM-nya. Kalau Pati dekat laut, ada pelabuhan ikan, itu bisa digerakkan,” katanya.
Eko menekankan, kreativitas dan inovasi menjadi kunci, namun tetap memerlukan pendampingan dari pemerintah pusat. “Memang perlu ada pendampingan dari pusatnya,” ujarnya.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menegaskan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah merupakan kebijakan murni pemerintah daerah. Penetapan tarif sepenuhnya menjadi kewenangan kepala daerah bersama DPRD melalui peraturan daerah.
Hal itu disampaikan Hasan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/8/2025), menanggapi tudingan bahwa kenaikan PBB-P2 merupakan dampak langsung dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.
“Kalau mengenai tuduhan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah ini terkait dengan kebijakan efisiensi, kami menganggap ini sebuah tanggapan yang prematur,” ujarnya.
Hasan menjelaskan kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan sejak awal 2025 berlaku untuk seluruh 500-an kabupaten/kota dan semua kementerian/lembaga di tingkat pusat, sehingga tidak dapat dikaitkan dengan kasus spesifik di daerah.
“Kalau ada kejadian spesifik, seperti di Kabupaten Pati, ini adalah murni dinamika lokal,” katanya.
Ia menambahkan, sejumlah kebijakan tarif PBB bahkan sudah ditetapkan sejak 2023 atau 2024 dan baru diimplementasikan pada 2025. Porsi efisiensi dari pemerintah pusat hanya sekitar 4–5 persen dari total transfer dana pusat ke daerah.